Suatu Pagi Bersama Dee Lestari

DSC_0590

SAYA ingat sekali. Ketika mahasiswi dulu, saya dipinjami buku Supernova; Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh karena penasaran dengan isinya. Kala itu buku ini jadi perbincangan dan ah, sebagai orang yang mengaku suka membaca, akan aneh rasanya kalau ketinggalan membaca buku ini. Rasa penasaran ingin membacanya juga karena ingin tahu cerita di balik imajinasi seorang penulis yang juga personil grup penyanyi trio yang nge-hits di zamannya ini; Dee Lestari.

Jujur, saya tak habis membaca seri pertama Supernova itu. Saya baru sampai sepertiga buku ketika saya memutuskan untuk berhenti membaca. Mungkin karena saya kurang suka hal-hal berbau fiksi ilmiah. Setelahnya, saya tak pernah lagi membaca karya-karya Dee. Saya hanya tahu perkembangan karyanya lewat media massa atau trailer film yang diadaptasi dari karyanya. Dari jauh, saya mengagumi transformasinya dari seorang penyanyi tulen menjadi seorang penulis best seller nasional. Ia ternyata konsisten dengan pilihan hidupnya saat ini. Bukan seperti pesohor-pesohor lain yang hanya mengandalkan kesempatan mumpung nama tenar. Karya-karyanya kini sudah teruji. Buktinya, beberapa teman dan saudara saya pernah bercerita dengan seru kala mengisahkan Seri Supernova, Rectoverso, Perahu kertas, atau karyanya yang lain. Mereka jatuh cinta pada Kugy, Leia, Bodhi, Elektra, Zarah, Alfa atau tokoh-tokoh lain yang masih terdengar asing di telinga saya.

DSC_0594

Diam-diam, saya penasaran, tapi rasa penasaran saya itu belum terwujud nyata sampai ketika ada kesempatan dari komunitas Kumpulan Emak Blogger (KEB) untuk belajar menulis dari Dee! Wah, ini benar-benar kabar baik! Lagipula, ini adalah coaching clinic yang sudah lama saya impi-impikan. Saya ingin belajar langsung dari seorang penulis best seller tentang teknik menulis yang baik, tips menulis kreatif, atau apapun itu yang bisa menjadi pelengkap ilmu menulis saya yang masih alakadarnya ini. Kesempatan seperti ini tentu langka bagi saya yang aslinya tinggal di daerah. Maka, meski sedang dihadang oleh berkas-berkas laporan pekerjaan yang harus saya selesaikan dalam waktu seminggu, saya tetap menyempatkan diri untuk menghadiri acara ini.

Sampai di Hotel Santika Dyandra Premiere pada Minggu, 22 Maret itu, saya sempat kebingungan mencari lokasi. Beberapa kali ke hotel ini, saya selalu tersesat sehingga harus bertanya pada petugas hotel yang lewat. Ternyata memang tidak mudah menemukan Benteng Restaurant, tempat berlangsungnya acara. Jalan yang cukup berliku harus ditempuh sampai ke tujuan. Tapi entahlah. Mungkin sebenarnya mudah saja. Saya saja yang agak susah mapping. Haha!

Tiba di ruangan yang ditunjuk, saya melihat 3 orang gadis yang tampaknya ingin sekali ikut acara ini. Mereka memohon pada kru Bentang Pustaka (yang belakangan saya tahu adalah Mbak Avee, CP acara ini) agar diizinkan duduk sebagai peserta. Melihat respon Mbak Avee yang menggeleng dengan senyuman, ketiga gadis tadi dengan berat hati meninggalkan tempat sambil kecewa. Seketika, saya merasa beruntung diberi kesempatan ini. Tanpa undangan, saya takkan bisa duduk menikmati sajian hangat yang langsung dihidangkan oleh seorang Dee.

DSC_0598

Ternyata belum semua kursi tampak penuh. Saya mengenali beberapa teman yang sudah lebih dulu hadir. Semuanya dari KEB. Windi Teguh, Nurul Fauziah, Lia Cerya, dan seorang lagi yang duduk di sebelah saya yang bernama Pertiwi Soraya. Waktu memang sudah menunjukkan pukul 9 lebih, lewat dari waktu yang dijadwalkan. Sambil menunggu itu, kami berlima lalu berinisiatif untuk berfoto-foto dulu. Dengan bermodal banner acara dan jepretan dari Mas-mas kru Bentang Pustaka, kami pun berfoto ceria. Haha. Di tengah-tengah sesi foto, seorang sosok masuk. Windi yang langsung mengenalinya. Ika Natassa! Jadilah, kami bergantian untuk foto bersama. Meski saya belum mengenali sosoknya, saya tetap ikut-ikutan foto berdua. Haha! Parah memang kudet-nya saya ini. Ckckck… *Maafkan saya, mbak Ika.. πŸ˜€

Tak lama menunggu, MC langsung membuka acara dengan ice breaking yang maknyus. Putri sukses membuat semua peserta tersenyum dan tak sabar lagi menantikan Dee Lestari. Suaranya yang ceria dan kata-katanya yang penuh humor memang mencairkan suasana, hingga tanpa sadar, sosok Dee Lestari sudah berdiri di tengah formasi meja yang berbentuk letter U. Tampilan Dee langsung menghipnotis saya. Kesan pertama yang muncul adalah; cantik! Saya suka gaya busananya yang didominasi warna ungu plum itu. Dengan cardigan, rok panjang, sandal wedges, rambut terurai dan riasan wajah minimalis, ia tampak santai dan tampil elegan dengan caranya sendiri. Keren!

DSC_0588
Bersama penulis Ika Natassa.. πŸ™‚

Dee langsung sukses membuat perhatian peserta yang berjumlah 14 orang itu terfokus padanya. Segera saja ia menggantikan posisi Putri di depan, membuka inti acara dengan suaranya yang enak didengar. Ia mengawalinya dengan kuis berhadiah 2 buku, yang pertanyaannya hanya bisa dijawab dengan yakin oleh para pengagum karyanya sejak lama. Hehe… Sesi berikutnya adalah sesi inti, di mana ia meminta para peserta mengajukan pertanyaan yang sebelumnya sudah dikirim lewat e-mail lalu menuliskannya di flip chart yang tersedia. Ada 2 sesi untuk pertanyaan ini diselingi coffee break. Sepanjang 2 sesi yang kalau ditotal 3 jam itu, ia tak membuat konsentrasi lenyap karena penyampaiannya yang menarik dan hidup. Setiap peserta tampak tekun mendengar, mencatat, atau sibuk me-live tweet. Untuk sesi pertama, ia memberi kesempatan untuk 5 penanya terlebih dahulu. Selesai menuliskan pertanyaan, ia mulai mengulas pertanyaan satu per satu.

DSC_0591

Ada banyak kutipan dan cerita yang sarat makna saat ia menguraikan satu per satu jawabannya itu. Tentang bagaimana ketika masih SD, ia bertekad untuk dapat melihat buku yang bertuliskan namanya ada di rak-rak toko buku. Impian terpendam yang baru terealisasi puluhan tahun kemudian. Ia sebenarnya sudah memulai langkah menuju impiannya itu sejak jauh-jauh hari, bahkan setelah ia lebih dikenal sebagai penyanyi. Ia sering mengirimkan karya-karyanya ke majalah-majalah remaja atau mengikutkannya ke dalam lomba dan akhirnya mengejutkan dunia perbukuan tanah air dengan karya fenomenalnya, Supernova; Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, yang terbit pada tahun 2000. Tentang betapa kagumnya ia pada karya-karya Sapardi Djoko Damono, Ayu Utami dan Rattawut Lapcharoensap. Dan tentang teknik menulis yang mungkin sudah umum disampaikan para penulis andal namun mampu ia uraikan secara menarik dengan caranya sendiri.

Ada satu kutipan menarik yang disampaikan Dee berikut ini:

β€œTemukan rasa gatal yang tak kunjung usai.”

Rasa gatal yang ia maksud sebagai passion, yang membuat seorang penulis takkan pernah kehabisan ide dan inspirasi untuk terus berkarya. Rasa gatal yang bisa berbeda-beda pada tiap orang. Rasa gatalnya yang beranjak dari spiritualitas ketika menulis seri Supernova, yang mungkin kadarnya sama seperti Djenar Maesa Ayu yang menggaruk rasa gatalnya di ranah seksualitas.

DSC_0587
Emak2 KEB. πŸ˜€ ki-ka: saya, Windi Teguh, Lia Cerya, Pertiwi Soraya dan Nurul Fauziah.

Karenanya, mendengar Dee berbicara tentang bidang yang ia tekuni sekarang adalah sebuah kemewahan yang belum tentu terbeli oleh semua orang yang memiliki passion yang sama. Maka saya merasa bersyukur dan berterima kasih padanya karena sudah berbagi ilmu menulis yang aplikatif untuk semua genre kepenulisan, asalkan punya niat awal dan tekad yang kuat serta menyusun langkah detail dan terukur untuk mewujudkan impian menjadi penulis profesional dengan karya-karya nyata yang bermanfaat bagi semua orang.

Selesai penyampaian materi adalah sesi yang ditunggu-tunggu. Book signing! Ia tampak begitu sabar melayani setiap peserta yang membawa setumpuk buku-buku karya Dee dari rumah bahkan meminta plus untuk berfoto bersama. Saya sendiri bahkan meminta foto berdua sampai 2 kali. Haha! Sambil berfoto-foto, beberapa nama disebut penyelenggara dari Bentang Pustaka. Ada yang menang live tweet berhadiah kaos Gelombang, dan satu orang pemenang yang berhadiah makan siang bersama Dee Lestari dan Ika Natassa. Untuk yang terakhir, Windi Teguh dari KEB, seorang pengagum berat Dee yang memang pantas menang. πŸ™‚

Setelah itu, kami semua berfoto bersama. Sebuah penutup yang manis untuk suatu kegiatan yang berjalan sukses. Buku seri Supernova terbaru berjudul Gelombang yang bertorehkan tandatangan dan nama Dee pun menjadi sumber motivasi baru bagi saya, yang diharapkan bisa mengingatkan saya pada tujuan awal untuk menulis, dan agar saya berusaha konsisten menerapkan langkah-langkah yang sudah diajarkannya. Yang jelas, kebersamaan dalam waktu yang singkat itu berbuah rasa penasaran untuk membaca karya-karya Dee Lestari. Mungkin, barangkali, bisa jadi, saya telah menjelma menjadi pengagum berikutnya.. πŸ™‚

IMG-20150322-WA0006
Aseeekk.. πŸ˜€

***

Terima kasih, Dee..

Terima kasih, Bentang Pustaka..

Terima kasih, KEB..

πŸ™‚

Share

16 thoughts on “Suatu Pagi Bersama Dee Lestari

    1. Iyaaa..saya suka liatnya..bisa dibilang contoh penulis ideal kali ya.. πŸ˜€
      Kalo mbak Umi ada di Jakarta, mungkin punya kesempatan untuk ketemu Dee di coaching clinic-nya minggu depan.. πŸ˜‰

  1. Yang penting foto dulu meski ngga tau itu siapa ya mak annisa hehehe. Sayang Dee coaching clinic ngga singgah di Semarang. Teman yang di Semarang ada dua orang yang ikut acara di Solo

  2. Bertemu dan mendapat ilmu dari penulis beken tetntu sangat menyenangkan
    Semoga ilmunya bukan mengendap tapi dipraktekkan
    Yuk terus menulis dengan niat untuk berbagi ilmu dan pengalaman agar bernilai ibadah
    Salam hangat dari Surabaya

Leave a Reply to nufazee Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: