Tak kusangka, kolom obituari ini akan terisi kembali setelah 4 tahun kepergian papa. Rumah itu memang penuh cerita. Sudah empat kali tenda hijau itu berdiri dengan kursi-kursi yang dipenuhi para pelayat. Sudah empat kali pula pembaringan itu menjadi peristirahatan terakhir anggota keluarga di rumah itu.
Nenek, Bang Iwan, Papa, dan dia yang baru saja pergi pada akhir Oktober lalu: Dia, kakakku sayang. Kupikir memang inilah cara Allah memanggilnya pulang. Tiba-tiba, mengejutkan kami semua. Tak kusangka aku tak lagi sempat menemuinya setelah bertahun-tahun tak bertemu. Padahal di saat-saat terakhirnya, dia ada di sini. Dia ada di kota ini.
Kedatangannya ke Medan demi mengantar Umak, wujud baktinya yang paripurna sebelum tutup usia. Masya Allah.. Apalagi hari di mana kakak sulungku itu pergi, Sabtu, 29 Oktober lalu, dia baru saja berkunjung menjenguk kerabat kami yang sedang sakit. Sungguh benar adanya. Manusia akan diwafatkan sesuai dengan kebiasaannya. Dia pun wafat dalam keadaan selesai bersilaturrahim, sesuai kebiasaannya kala hidup.
Kediamannya di Bogor mungkin tak pernah sepi. Selalu saja terbuka menerima siapapun yang datang berkunjung. Dia menerima mereka, kami semua, selalu dengan senyuman dan sambutan hangat. Rumah yang sebenarnya masih jarang kukunjungi, tapi selalu terasa kehangatannya ketika melihat foto-foto keluarga dan kerabat ketika tengah berkumpul yang sering terkirim di grup WA.
Dialah cahaya di rumah itu. Dialah yang membuat penghuninya tenteram. Dialah yang membuat tamunya nyaman. Dialah yang menjadi ruh kasih sayang dan kebaikan hati yang takkan pernah bisa tergantikan oleh siapapun. Bisa kubayangkan. Mungkin kini aura rumah itu sudah berbeda. Tentu rumah itu masih berdiri megah. Halamannya masih akan terus dirawat agar tetap asri. Tapi keceriaan dan kebahagiaan yang biasa dirasakan di rumah itu mungkin ikut pergi.
Masih berkelebat bayangan ketika malam itu dia berpulang. Bersama kakak iparku, kami hanya sanggup bertangisan di telepon ketika aku mengonfirmasi kebenaran berita kepergiannya yang kubaca di grup WA keluarga. Aku tak percaya membaca kabar kepergian yang disampaikan suaminya saat itu. Bukankah dia baru saja menjalani cath lab (kateterisasi jantung)? Bukankah tindakan itu sudah tepat untuk secepatnya dilakukan?
Kukira belum terlambat untuk melakukan tindakan itu, karena beberapa jam sebelumnya setelah mengalami serangan, kakakku yang pemurah dan penyayang itu masih dalam kondisi sadar ketika dibawa ke rumah sakit. Dan tak lama, tindakan kateterisasi pun dilakukan oleh seorang dokter kardiolog senior.
Kukira..lagi-lagi kukira, tak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan karena semuanya cepat ditangani. Aku pun sempat meyakinkan Umak untuk tenang, sabar dan berdoa saja. Doa Umak, doa kita semua, insyaallah akan dikabulkan Allah. Bahwa Kak Emy bisa sehat kembali seperti sedia kala. Hanya perlu waktu untuk pemulihan.
Mungkin ini sesalku. Aku tak langsung menemuinya di rumah sakit. Aku hanya berpikir untuk menemui dan menjaga Umak saja di rumah, karena sudah berbulan-bulan kami tak berjumpa. Selepas magrib malam itu, kukatakan berulang-ulang pada Arsya,
“Kita besok ke rumah Ompung ya. Biar Ompung ada kawan karena Uwak lagi sakit.”
Tapi jauh di lubuk hatiku, ada kegelisahan yang entah apa. Bagaimana kalau Kak Emy tak tertolong? Bagaimana kalau besok ceritanya berbeda? Terselip juga pertanyaan itu. Tapi selalu berusaha kutepis. Aku yakin, doa kami untuk kesembuhan Kak Emy akan makbul. Bukankah Allah Yang Maha Penyayang akan selalu mendengarkan doa hambaNya?
Sejak waktu Isya, beberapa kali aku berkomunikasi dengan suamiku dan kakak iparku yang berprofesi sebagai dokter. Suamiku yang bertugas di luar kota pun terus memantau keadaan dengan perantara adik iparku yang seorang residen Kardiologi. Pada merekalah segala penanganan diserahkan. Selebihnya, kami terus berdoa dan berharap semuanya akan baik-baik saja.
Malam mendekati larut. Aku tak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku ketika kubaca kalimat abang iparku di grup WA keluarga itu.
Sepertinya Mama Atiqah, Ina, Dinda dan Faishal sudah menghadap Allah Rabbul ‘alamiin. Mohon dimaafkan semua kesalahan beliau.
Sepertinya? Menghadap? Maksudnya? Langsung kuhubungi Kak Yanti, kakak iparku yang sejak kejadian serangan siang itu terus mendampingi Kak Emy. Bersama putra sulungnya dan abang iparku (suami Kak Emy), dia dengan sabarnya bertindak sebagai pihak keluarga yang mendampingi Kak Emy menjalani prosedur kateterisasi itu.
Mendengar isaknya di ujung telepon, tahulah aku. Tapi masih sempat aku bertanya tak percaya, “Betul itu kak? Kak, betul yang dibilang abang di grup?” Seperti anak kecil, aku menanyakan itu dengan tangisan yang makin menjadi. Sungguh kenyataan pahit yang terjadi seperti kilat.
Tubuhku melemah. Lunglai selunglai-lunglainya. Baik aku maupun kak Yanti tak lagi sanggup berkata-kata. Hanya tangisan yang beradu keras tanpa bisa ditahan. Lalu aku semakin lemas karena teringat Umak. Tangisku makin menjadi-jadi. Tak sanggup kubayangkan bagaimana perasaannya.
Kepergian anak lelaki satu-satunya 10 tahun lalu dan juga papa pada 4 tahun lalu, ternyata belum menjadi ujian terakhir. Kini anak perempuan sulungnya. Yang selama 3 bulan terakhir selalu bersamanya. Sungguh aku tak sanggup lagi berkata apapun selain tergugu menanyakan ini pada Kak Yanti,
“Gimana Umak, kak? Siapa yang nanti bilang ke Umak? Kasian Umak, kak. Adek nggak sanggup bilanginnya.”
Hanya tangis kami yang menjadi jawaban.
~~~
Innaalillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Allaahummaghfirlahaa warhamhaa wa’afihaa wa’fu ‘anhaa.
~~~
Catatan untuk mengenang kakak sulungku: Emy Rosalinda Rangkuti. Tutup usia 52 tahun. Wafat di Medan, 29 Oktober 2022.