Tentang Umak; Hingga Sekat Itu Lebur

AYAH. Sesungguhnya aku memanggilnya “Papa”. Tapi demi tulisan panjang yang kurangkai ini, aku memanggilnya “Ayah”, sama seperti Papa memanggil Ayahnya, yang adalah kakekku itu. Hmmm…sebenarnya lucu. Aku tak tahu sejak kapan orang-orang Mandailing -khususnya di keluarga besarku- memanggil Ayah mereka dengan sebutan modern; “Papa”. Karena bukan aku dan kakak-kakakku saja yang memanggil orangtua laki-laki kami dengan sebutan “Papa”, tapi juga sepupu-sepupuku, meskipun mereka tinggal di kota kelahiranku, Padang Sidempuan. “Papa” terkesan “kota”, modern, canggih. Hahaha.. Berbeda dengan panggilan untuk Ibu; “Umak”. “Umak” masih terasa Mandailingnya. Belakangan aku baru tahu kalau “Umak” juga digunakan untuk memanggil orangtua perempuan bagi masyarakat Sumatera Selatan. Itu pun karena aku pernah menonton film “Pengejar Angin”. Hehehe…

Papa dan Umak. Kurang serasi dalam penyebutan sebenarnya. Sepupu-sepupuku yang juga memanggil Ayah mereka dengan sebutan “Papa”, menyandingkannya dengan “Mama” atau “Mamak”. “Mamak” terasa lebih “Medan” dan modern dibandingkan “Umak”. Umak…Umak…

Aku pernah malu memanggil Ibuku dengan “Umak”. Rasanya kelu lidah ini jika menyebutkan itu di hadapan teman-temanku. Kebanyakan teman-temanku memanggil Ibu mereka dengan “Mama” atau “Mamak” tadi. Jadi sejak aku berusia 4 tahun dan kami sekeluarga pindah ke Medan dari Padang Sidempuan, aku lebih akrab mendengar kata “Mama” dan “Mamak” dibandingkan “Umak”. Kala aku berkumpul dengan teman-temanku dan aku terpaksa harus mengikutkan Ibu dalam bahan obrolan kami, aku akan berujar, “Ibuku…”, karena kurasa kata “Ibuku” adalah kata tengah, solusi agar tak terlalu durhaka karena malu menyebut “Umakku”.

Tapi waktu SD, aku lebih sering menggunakan kata “Mamak”, ikut-ikutan teman-temanku. Seorang temanku yang pernah bertandang ke rumah dan mendengar aku -tak sadar- setengah berteriak ketika memanggil Umak karena mereka akan pamit pulang, akan menyindirku sembari tersenyum menggoda, “Bukannya kau memanggil ‘Umak’?” begitu katanya ketika aku kedapatan menyebut “Ibuku” kala sedang mengobrol dengannya. Kalau sudah begitu, biasanya mukaku akan terasa sedikit panas, mungkin juga memerah. Lalu sambil tersipu aku akan mengoreksi, “Eh, iya..Umak,” Duh, terbayang betapa durhakanya aku waktu itu. Hahaha…

Sampai dewasa, terkadang aku belum terlalu nyaman dengan panggilan “Umak” ini. Entahlah. Jujur saja, aku masih jarang menyebut “Umak” di hadapan teman-teman atau siapa saja yang kebetulan saat itu menyinggung sedikit tentang Ibu. Aku khawatir raut wajah mereka akan berubah aneh memandangku lalu mencibir panggilan hormatku pada Ibu itu. Jadi aku lebih sering menggunakan kata “Ibuku”. Kata “Umak” hanya aku perkenalkan pada sahabat-sahabatku saja.

Namun akhirnya kurasa aku makin dewasa dan bijaksana dalam menyikapi sesuatu. Kuanggap kekhawatiranku akan penyebutan “Umak” itu lebih karena faktor psikologis. Ya, sejak aku belajar psikologi, sedikit banyaknya aku mulai paham tentang mengapa aku masih saja sungkan untuk berakrab ria dengan kata “Umak”. Aku menduga dan merasa, bahwa masih ada sebentang jarak emosional antara aku dan Umakku. Aku memang berhubungan baik dengan Umakku, tapi tak dalam. Masih ada semacam sekat yang memisahkan pemikiran dan emosi kami. Kami belum benar-benar lebur dalam lautan cinta dan kasih sayang yang murni antara Ibu dan putrinya. Aku sadari itu, mungkin juga beliau.

Maka dalam suatu kesempatan yang dianugerahkan Allah, aku mencatat rangkuman perasaanku terhadap Umak ke dalam suatu tulisan yang lalu dibukukan. Buku ke-5 antologi “Dear Mama”. Tulisan yang berjudul “Surat Cinta untuk Umak” itu berperan sebagai jembatan yang menghubungkan emosi kami; aku dan Umak. Aku tuliskan perasaanku sebagai anak apa adanya, yang baik maupun buruk. Yang bahagia maupun sedih. Aku tuliskan dengan sepenuh hati. Sempat terbersit untuk mengeditnya agar tak terlalu kentara, karena bagaimanapun itu adalah buku yang bisa dibaca siapa saja. Siapapun yang membeli buku itu berkesempatan untuk melongok ke kedalaman perasaanku sebagai anak dari Umak.

Aku berharap Umak akan terharu lega dan bahagia ketika membacanya. Tapi ternyata aku salah. Umak sebagai sosok perempuan yang kurasa tak pernah melepaskan belenggu masa lalu yang tak menyenangkan dari hatinya, lalu menangis menyesali diri. Ah, rupanya bukan bahagia yang kuberikan, namun duka. Maafkan aku, Mak…

Tapi aku yakin, Allah yang Maha Penyayang pasti akan menyelipkan hikmah pada setiap kejadian. Aku tak ingin menyesali mengapa aku menuliskan dan mengirimkan surat hati itu untuk dibukukan. Aku sudah harus siap dengan reaksi Umak. Aku hanya ingin memasuki lorong hati Umak yang selama ini kurasa terlalu sepi, dingin, meski tampak terang dan bercahaya. Aku ingin selama hidup kami, ada paling tidak satu saat dimana kami bisa menyatu dalam balutan cinta yang tulus dari hati. Aku hanya ingin tak lagi malu menyebut kata “Umak”. Aku sudah membuktikannya dengan menuliskan itu di buku. Supaya semua orang tahu, aku bangga dengan Umakku.

Umak…Umak…kata bersahaja, polos dan apa adanya. Maka aku ingin juga mendefinisikan cinta kami sebagai suatu hubungan yang bersahaja, polos dan apa adanya. Tak ada lagi sekat. Tak ada lagi pemisah. Tak ada lagi ruang bagi segala prasangka yang pernah menyesaki dada.

“Umak, aku menyayangimu…”

***

Share

2 thoughts on “Tentang Umak; Hingga Sekat Itu Lebur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: