DALAM setahunan ini, saya sudah sekian kali mendapat kabar duka dari beberapa teman dan sahabat saya. Ayah mereka, satu persatu berpulang. Beberapa kali isi obrolan di WAG atau status facebook tertulis “Innaalillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun“. Pertanda ada seorang hamba yang tengah kembali ke haribaanNya. Dalam hati kecil saya, mulai terselip rasa khawatir. Bagaimana kalau selanjutnya giliran saya? Bagaimana rasanya mendapati kenyataan kalau ayah saya sudah tiada? Seberapa sedihkah? Seberapa perihkah?
Usia memang tak ada yang tahu terminalnya. Kita hanya diminta untuk berjalan, kadang berlari, mau tak mau harus terus bergerak. Apapun yang terjadi. Dalam beberapa tahun belakangan, saya mulai melihat gerakan hidup itu mulai melemah di diri ayah saya. Kadang naik, kadang turun. Namun akhirnya terus menurun. Pertambahan waktu sekaligus pengurangan usia di dunia tak terbantahkan. Ayah saya yang mengidap Parkinson sejak beberapa tahun terakhir, semakin kaku otot tubuhnya. Semua sudah serba dibantu. Syukurlah masih bisa makan dan minum, meski makin lama makin sedikit, sangat sedikit. Di saat-saat terakhirnya sudah seringkali dibantu dengan infus dan pernah dengan selang makanan. Penglihatannya? Entah. Ayah lebih banyak tidur. Pendengarannya juga tak tahu pasti. Ayah sudah lama tak bisa lagi berbicara jelas. Setiap beliau berbicara, kami yang mendengar harus memaksimalkan fungsi telinga. Kalaupun tak bisa dipahami juga, cukuplah dengan bahasa kalbu atau menerka isyaratnya. Subhanallah..
Ibu sayalah yang paling berat perjuangannya. Kami, kelima anak perempuan mereka yang tersisa (abang saya telah mendahului kami 6 tahun yang lalu), masing-masing menjalani takdir hidupnya setelah menikah. Dua orang di Tangerang, seorang di Bogor, dan saya di Padangsidempuan. Tinggal kakak saya yang nomor 5, yang di atas saya, si bungsu, yang bisa diharapkan untuk sering-sering menengok keadaan kedua orangtua kami. Mereka sama-sama berdomisili di Medan. Sebelum ayah saya semakin drop, dalam arti sudah sulit untuk duduk dan hanya bisa berbaring saja, kakak saya nomor 5 itulah yang hampir setiap hari datang berkunjung. Membantu ibu saya yang perlu membeli ini dan itu keperluan ayah, mengurus uang pensiunnya, mengambilkan uang di ATM, apa saja. Terkadang membawakan makanan kesukaan ayah; kue jajanan pasar, gorengan, dll. Sesungguhnya saya melihatnya dengan lelah, karena ia pun masih mengurus suami dan ketiga anaknya. Jarak rumah orangtua kami dengan rumahnya lumayan jauh. Namun ia, tanpa kenal lelah, tetap datang dengan membawa perhatian dan cinta yang mewakili kehadiran saudari saudarinya yang lain.
Frekuensi kunjungannya ke rumah orangtua kami semakin intens, dua kali sehari, kala ayah, awal Ramadhan itu, terpaksa harus diopname. Ayah saya yang sudah tertatih hidupnya itu masih saja bersemangat untuk berpuasa. Namun ternyata tubuhnya sudah jauh dari sanggup. Ayah sempat kejang karena dehidrasi sehingga segera dibawa ke RS. Saya, tidak bisa menjenguk. Hanya memantau kondisinya via telepon dan WA. Alhamdulillah, ayah diperbolehkan pulang pada hari ke lima. Saya baru bisa mengunjunginya saat lebaran sudah dekat. Dua minggu jelang lebaran tiba, saya menginap di rumah kedua orangtua saya. Meski tidak betul betul penuh 2 minggu karena harus berbagi hari di rumah mertua, tapi saya merasakan betul beratnya kondisi ayah dan yang merawatnya: ibu dan kakak saya. Luar biasa. Ada banyak luka di tubuh ayah yang timbul karena kondisi berbaring saja. Luka yang tak pernah benar benar mengering. Luka yang semakin banyak saja. Di badan, di kaki. Kaki ayah sudah tak bisa lurus. Karena posisi anggota tubuh yang jarang berpindah disertai kulit yang sudah berkurang kelembapannya, luka luka itu muncul. Sungguh tak tega bila melihatnya. Saya hanya menatap nanar ketika kakak saya dengan telaten mengelap tubuh ayah, membersihkan luka dan mengolesinya obat, memakaikannya baju -yang mesti dilakukan oleh 2 orang- sampai mewudhukannya. Shalatnya? Biarlah isyarat saja. Yang penting ayah selalu diingatkan untuk senantiasa berzikir meski di dalam hati atau mengajaknya salat di saat sudah masuk waktunya.
Kehadiran saya di sana memang kurang maksimal. Saya hanya bisa membantu sekadarnya, karena saya masih harus mengurus dan menjaga anak saya, Arsya, yang masih batita. Terkadang saya mewudhukan ayah atau menyuapinya makan. Sedikit demi sedikit. Sambil mengajaknya mengobrol, meski seringkali terasa hampa karena tiadanya interaksi. Sekali dua, saya membacakannya ayat kursiy, al ikhlash, al falaq dan an naas sebelum tidur. Ayat ayat Al Quran memang senantiasa terlantun di rumah itu. Dari TV terutama. Kalau tidak pun, channel TV akan menyiarkan program kajian agama. Entah ayah mengerti ataupun tidak. Yang penting, itulah sebuah ikhtiar agar ayah senantiasa mengingat Allah kapan saja.
Sesekali ayah berbicara. Namun seringkali tak kami mengerti. Hanya ibu yang dengan pendengarannya yang menembus kalbu, yang terkadang bisa memahaminya. Selebihnya, hanya terdengar sebagai gumaman. Otot mulutnya kaku, lidahnya seperti tertarik ke belakang. Saya sering diam-diam berurai air mata saat melihat kondisi ayah yang demikian. Tubuhnya pun semakin kurus, semakin tirus. Tak tega. Sungguh tak tega. Namun saya tak bisa berbuat banyak. Domisili yang terpisah kota, jadi salah satu sebab tak bisa sering-sering bertandang. Kalaupun sedang di Medan, lebih sering hanya sebentar. Hanya berharap pada kualitas waktu saat berada di sisinya. Meski sejenak, beberapa hari saja, semoga tetap membuat ayah mengenal dan mengingat anaknya ini dalam hatinya.
***
Sebuah pertemuan beberapa minggu sebelum ayah berpulang, sangat membekas di hati saya. Situasi saat itu begitu terekam jelas. Saya baru saja sampai di rumah orangtua saya. Baru saja tiba dari Padangsidimpuan. Begitu sampai, setelah menyalami ibu, saya langsung masuk ke kamar ayah. Ia, seperti biasa, sedang berbaring sambil berpejam. Namun saya tahu, tak setiap pejamnya berarti tidur, jadi saya tetap menyapanya, memanggilnya lirih.
Matanya terbuka. Tak seperti biasanya, bukaan matanya begitu lebar, seperti saat sehat dahulu. Senyum tipis menyungging di bibirnya yang tak lagi simetris. Dan tangannya..tangannya membalas genggaman tangan saya. Hal yang sangat jarang terjadi mengingat otot tangannya yang hampir selalu kaku seperti kayu.
Mata ayah menatap saya. Hangat. Rindu. Duhai … saya tersenyum melihat senyum dan pancaran wajahnya yang semringah. Tangannya terus menggenggam tangan saya. Tangan saya semakin kuat menggenggam tangannya. Kami bergenggaman, lama. Duhai indahnya. Sambil saling menggenggam itu, saya ajak beliau bicara, apa saja yang terlintas di benak. Tentang kedatangan saya yang baru saja, tentang kabar Arsya, tentang hal-hal remeh, tentang apa saja. Memang tak banyak hal yang saya ceritakan, karena saya lebih ingin menikmati momen kebersamaan yang beberapa menit itu dalam diam. Hanya kami berdua, memakai bahasa kalbu.
Rasanya ingin menebus sekian banyak genggaman tangan yang terlewat, yang terpaksa saya lepas karena harus mengurus hal lain. Kali itu, saya biarkan beliau menggenggam tangan saya selama mungkin yang beliau ingin. Matanya yang awalnya terbuka lebar lama-lama meredup lalu memejam. Namun genggaman tangannya tak kendur. Saya merasa lebih mencintainya.
Saya lupa, entah pada pertemuan kapan saya akhirnya memberanikan diri membisikkan sesuatu yang selama hidupnya mungkin belum pernah beliau dengar dari mulut anak bungsunya ini. Saya membisikkan kalimat yang saya takut takkan pernah tersampaikan kalau mesti ditunda-tunda lagi. Saking canggungnya, saya mengucapkannya saat mata beliau terpejam. Entah tidur entah mendengar. Yang jelas, saya sudah cukup lega menyampaikan hal yang saya anggap sakral.
“Adek sayang Ayah..”
Tiga kata itu bagai kucuran air yang membasahi kegersangan interaksi yang pernah ada antara seorang ayah dengan anak perempuannya. Tiga kata yang sejak itu jadi ingin sering-sering saya ucap, meski kini penyampaiannya mesti lewat perantara Sang Pencipta dan para malaikat.
***
Cuma bisa menangis
Doa selalu utk kedua orangtua kita ya, kak. Khususnya yang sudah berpulang.. 😢
Innalillahi wainnailaihi roji’un. Semoga segala sakitnya rahimahullah menjadi pembersih dirinya dari segala dosa yang ada. Aamiin.
Inilah ya nis, anak perempuan. Apalagi yang ikut suami merantau nun jauh diseberang pulau. Ingin rasanya bisa ikut mengurus meringankan beban mama namun apa daya. :(‘
Aamiin Ya Allah.. Makasih yaa, Rina..
Baru baca komentar fullnya. Iyaa, Rin. Sedih memang jauh dari ortu. Cara berbakti kita yang berbeda mgkn bentuknya, Rin..
Jadi inget almarhum bapakku 😭
Cuma doa yang bisa kita panjatkan untuk bapak2 kita rahimahullah. Semoga mereka sudah bahagia di jannahNya..aamiin Ya Allah.. 😢😢