Tentang Hujan dan Saat Berpulang

Tentang Hujan dan Saat Berpulang

 

 

DULU, saya selalu merasa heran dengan anggapan umum, bahwa kalau ada orang yang meninggal dunia, hujan akan turun. Atau hujan yang turun tiba-tiba tanpa pertanda, sejenak saja seperti numpang lewat, berarti membawa kabar bahwa ada satu nyawa yang dipanggil pulang oleh penciptanya. Lalu saya berpikir, bagaimana kalau yang meninggal di suatu tempat itu ada beberapa? Berentetan atau bersamaan saatnya? Bagaimana pula pengaruhnya pada curah dan durasi hujan yang akan turun tiba-tiba?

 

Maka saya menganggap itu bukan hal penting. Cenderung tahayul. Mitos. Bahwa hujan yang turun bersamaan dengan diutusnya malaikat maut untuk menjemput ruh manusia itu, tidaklah saling berkaitan. Saya yakini itu.

 

Tapi begitulah. Ketika mendengar kabar ayah saya berpulang ke rahmatullah di sore itu, Ahad, 9 September 2018 (28 Dzulhijjah 1439 H), tangisan saya luruh bersama hujan yang datang tiba-tiba. Seketika aroma kehilangan menguar bersama bau jalanan basah. Inilah saatnya. Inilah rasanya kehilangan ayah. Innaalillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.

 

Hujan turun seperti ingin memberi kabar. Satu ruh sesaat yang lalu telah kembali kepada sang pemiliknya. Saat menyadarinya, saya jadi tercenung dalam diam. Isak tangis mendadak tertahan. Tapi saya menepis, hampir saja memercayai mitos itu.

 

Yang terjadi beberapa saat kemudian adalah diri saya yang seperti tak sanggup menghadapi takdir yang digariskanNya hari itu. Tinggal badan yang terasa lemah lunglai. Saya rasakan wajah saya seketika pucat. Tangan dan kaki menggigil. Ingin rasanya segera melompat ke samping ayahanda di Medan sana. Tapi mau tak mau, hanya perjalanan darat Padangsidimpuan-Medan yang bisa jadi pilihan. Jadwal pesawat dari bandara Pinang Sori maupun Aek Godang sudah tak ada. Tak mungkin menunggu besok. Terbayang sudah letih di perjalanan sambil memanggul kesedihan yang terasa berat. Waktu seperti melambat.

 

Saya jadi teringat seorang perempuan yang pernah saya jumpai di bandara Pinang Sori. Ia tampak seorang diri. Dandanannya terlihat biasa saja. Hanya satu yang mencolok. Sebuah boneka teddy bear yang dengan susah payah ia masukkan ke conveyor belt melewati pemeriksaan x-ray. Hampir saja tak muat saking besarnya boneka itu. Saya sempat memandangnya aneh.

 

Bayangkan saja. Perempuan dewasa dengan teddy bear besar yang tak lepas dari pelukannya selagi menunggu pesawat boarding. Sedikit penasaran, diam-diam saya amati sekilas wajahnya. Matanya sembab. Sesekali ia mengusap matanya. Kepala teddy bear itu menutupi matanya yang basah, sebelum ia berjalan ke arah pesawat dengan memakai kacamata hitamnya. Selama itu, ia memeluk erat boneka beruang itu di ruang tunggu.

 

Barulah saya tersadar. Teddy bear rupanya menjadi objek lekat sementara yang membuatnya nyaman karena ia berangkat seorang diri. Dengan memeluk, ia melepaskan sebagian beban. Mungkin saat itu, ia pun sedang merasakan kehilangan.

 

Maka saya memeluk Arsya. Karena saat mendengar kabar itu hanya ada kami berdua. Saya katakan padanya sambil menahan isak,

“Ompung Oji udah nggak ada, Nak.”

Meski raut mukanya tampak bingung, tapi tatapan matanya seperti memahami apa yang sedang terjadi. Ia lalu kembali bermain sementara saya berkemas untuk perjalanan malam itu. Syukurlah ada teman sekaligus tetangga yang datang untuk menemani. Teman kami dan keluarganya membantu saya menjaga Arsya. Baru pada saat menjelang magrib itu, saya menumpahkan tangis di pelukan suami yang baru saja pulang bekerja.

 

Di perjalanan, saya tak dapat tidur. Meski mata terpejam, tapi yang muncul di benak adalah kelebatan-kelebatan ayah semasa hidupnya. Air mata memang tak lagi mengalir. Tinggal perasaan sedih bercampur hampa. Entahlah. Diam-diam di sudut hati, ada juga semacam perasaan lega kalau ayah tak lagi menderita karena penyakitnya. Selama ini, hati sungguh tak tega melihat ayah berjuang menjalani hari-harinya yang sebenarnya penuh dengan ketidaknyamanan, berusaha sabar dengan keadaan.

 

Yang tampak selintas mata, mungkin orang akan mengira dirinya hanya diam menanti takdir ajal yang akan menjelang. Padahal segala rupa pengobatan medis maupun alternatif sudah tunai ia upayakan, namun Parkinson-nya tetap saja melaju ke stadium akhir. Inilah kiranya jalan yang terbaik. Berharap kesabarannya dalam menjalani sisa hidupnya kemarin adalah cara Allah untuk menggugurkan dosa-dosanya agar kembali padaNya dengan jiwa yang tenang dan bersih. Aamiin..

 

***

 

Tentang Hujan dan Saat Berpulang (dok. AFR)

 

Jelang subuh, sesampainya di rumah duka kami, saya telah sadar sepenuhnya. Bahwa kehilangan lelaki panutan untuk yang kedua kalinya di rumah ini (setelah abang saya lebih dulu menghadap Ilahi pada 2012), sejatinya adalah sebuah keniscayaan. Saya dan siapa saja yang kini masih bernapas tengah bergerak juga menuju keabadian. Takkan ada yang tertinggal. Cukuplah kabar tentang kepulangan ruh ke haribaanNya menjadi pengingat bagi siapa saja yang mendengar.

 

Saya hampiri ibu saya yang duduk di samping jenazah ayah. Sebenarnya saya lebih mengkhawatirkan keadaan ibu saya sepeninggal suami terkasihnya. Peluk erat kami membuatnya terisak lagi. Tak ada yang bisa saya lakukan selain berusaha menguatkan.

 

Tak lama setelah salat subuh, ibu dan kami berlima anak-anak perempuannya, serta beberapa menantu dan cucu, ikut memandikan ayahanda untuk terakhir kalinya. Kakak saya yang nomor 3 dan suaminya menjadi pemandu. Mereka yang ilmu fardu kifayahnya lebih mumpuni karena telah terbiasa melakoninya bersama komunitas di tempat domisilinya.

 

Sungguh suatu pagi yang mengundang haru. Ibu tak kuat berlama-lama. Beliau pamit beristirahat di tengah-tengah prosesi memandikan jenazah. Kami segera maklum. Siapa pula yang sanggup menahankan pedihnya memandikan raga orang tercinta?

 

Sesudah dimandikan, jenazah ayah lalu dikafani dan disemayamkan sampai menjelang zuhur. Selesai disemayamkan, isak tangis kembali bersahutan saat satu persatu anggota keluarga mencium wajah ayah untuk terakhir kalinya sebelum ditutup kafan untuk selama-lamanya. Jenazah ayah lalu diberangkatkan ke masjid agar bisa disalatkan oleh seramai-ramainya jamaah zuhur yang hadir. Hingga akhirnya tiba saatnya ambulan membawa keranda jenazah ke pemakaman. Saya dan jamaah perempuan lainnya tak turut. Karena begitulah sunnah yang diajarkan Rasulullah.

 

Sepanjang hari itu, hati saya masih merasa ayah hanya sedang tidur di kamarnya. Ada dan tiadanya selama ini nyaris tak ada beda. Hanya ucapan belasungkawa sambung menyambung yang berulang kali menyadarkan saya bahwa ayah memang sudah berpulang. Ayah sudah kembali ke haribaanNya.

 

Selang beberapa minggu setelahnya, saat semuanya kembali ke rutinitas biasa, barulah air mata deras mengalir setiap kali mengingatnya. Barulah ketiadaannya terasa begitu memilukan sekaligus menyesakkan dada. Oh, Allah.. beginilah ternyata rasanya. Beginilah rasa sedih berbalut rindu karena kehilangan orang tercinta. Tak ada hal lain yang bisa dilakukan selain melangitkan doa. Semoga Engkau berkenan menyambutnya di jannahMu yang mulia. Aamiin Yaa Rabbal ‘alamiin..

 

 

***

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: