Aku ingat pada suatu sore. Hmmm..mungkin siang, sore, atau malam. Entahlah. Yang pasti, yang paling kuingat saat itu adalah aku tengah duduk di meja makan rumah kami. Entah apa yang sedang kulakukan. Saat itu kira-kira aku masih berusia TK.
Sebagai anak yang cukup cerewet, kritis, dan ingin tahu banyak hal -wajarlah anak seusia itu- aku bertanya pada Ayah tentang sesuatu. Ayah kala itu sedang mengajakku mengobrol tentang penyakit darah tinggi. Aku tak ingat entah apa pemicu Ayah membicarakan itu. Mungkin saat itu penyakit darah tinggi Nenek sedang kumat, sehingga sambil duduk di kursi meja makan, aku dan Ayah membahasnya dengan bahasa sederhana yang bisa kutangkap.
Mungkin waktu itu aku baru belajar tentang antonim, kata yang berlawanan arti. Besar-kecil, banyak-sedikit, bagus-jelek, juga tinggi-pendek. Maka dengan keluguan yang kupunya, aku dengan yakin mewartakan pengetahuanku itu dengan sebuah kalimat;
“Lawannya darah tinggi, darah pendek ya, Yah?”
Aku lupa, aku sudah fasih atau belum dalam mengucapkan huruf “R” waktu itu.
Sejurus kemudian, Ayah terbahak. Begitu lepas tawanya hingga aku melihat dua titik bening di sudut-sudut kedua matanya yang menyipit. Beliau lalu mengumumkan pada Umak dan seisi rumah perihal “si darah pendek”. Aku bingung, tidak tertawa, hanya bisa tersenyum melihat keceriaan yang tiba-tiba memenuhi hawa di rumah itu. Bahwa aku lucu juga, bisa membuat Ayah, Umak, dan kakak-kakakku tertawa.
Puas tertawa, Ayah lalu membenarkan kalimatku dengan “darah rendah”nya.
Hmmm…baiklah. Satu frasa lagi yang kupelajari; Darah Rendah.
***