Tentang Arti Kehilangan (2)

“Besok kita pulang,” tegas suami saya. Matanya yang masih berkaca-kaca menatap saya. Coba menguatkan. Saya hanya bisa mengangguk sembari masih berurai air mata. Ya Allah, inilah ujian itu. Ternyata beginilah rasanya, bisik hati saya. Selama ini saya hanya membayangkan yang namanya kehilangan anggota keluarga yang dicintai. Tentang bagaimana rasanya, tentang bagaimana sikap menghadapinya, tentang segala teori kehilangan yang bersumber dari pengalaman-pengalaman hidup orang lain. Tentu saat belum mengalaminya langsung, saya berpikir saya akan kuat, kapan saja saat itu datang. Tapi kenyataannya?

Saya lupa kalau saya cukup emosional, sebenarnya. saya lupa kalau kadangkala saya adalah makhluk melankolis yang mudah sekali tersentuh dan berlinang air mata. Ternyata ketika saat itu tiba, saya rapuh. Saya terisak-isak, tak mampu bersabar menahan rasa. Saat itu hanya zikir pada Ilahi saja yang bisa menguatkan. Maghrib-nya, saya salat khusyuk sekali. Begitupun saat Isya. Seingat saya, saya jarang salat sekhusyuk itu. Memang benarlah. Kesedihan itu adalah salah satu cara Allah untuk menyadarkan makhlukNya tentang betapa Mahakuasanya IA. Agar manusia mendekat dan makin mendekat. Agar manusia hanya berharap dan memohon pertolongan padaNya. Laa Ilaaha Illallaah..

Sehabis Isya, saya membaca surah Ar-Rahman, surah yang gemar saya baca di kala sedih maupun senang. Ayat-ayat Allah itu menenteramkan hati saya. Bahwa adalah hak Allah untuk mengganti kesenangan dengan kesedihan. Adalah hak Allah bila saat ini, dengan kehendakNya, menukar sukacita bertahun-tahun dengan sejenak dukacita. Bahkan di balik dukacita pun, Allah masih tetap menganugerahkan harapan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang akan kamu dustakan?

Senin, esok paginya, saya dan suami bersiap-siap ke Padang, mengejar penerbangan ke Medan pukul 2 siang. Seluruh keluarga suami; kedua mertua dan adik-adik ipar, ikut mengantar. Rombongan keluarga suami dari Medan itu baru akan menyusul pulang keesokan harinya melalui perjalanan darat. Syukurlah perjalanan ke Padang lancar. Arus mudik baru akan bergerak ke Bukittinggi dan kota-kota di sekitarnya. Kira-kira pukul 11.30, kami pun sampai di Bandara Minangkabau. Masih panjang waktu sebelum keberangkatan. Waktu itu pun kami manfaatkan untuk makan siang dan salat Zuhur. Entah mengapa, suara azan yang menggema dari pengeras suara bandara itu menggetarkan hati saya dan membuat air mata saya mengalir begitu saja. Begitu syahdu terdengar. Mengingatkan lagi tentang Allah dan kehidupan. Rasanya tak sabar saya segera sampai di Medan.

Di ruang tunggu bandara, saya dan suami mengulang ingatan. Minggu menjelang sore kemarin itu, suami saya menelepon Papa untuk mengucapkan selamat lebaran. Saat itu kami masih di Kotogadang, menikmati 1 Syawal dengan penuh sukacita dan rencana jalan-jalan yang mengasyikkan. Sinyal di sana memang hilang timbul. Saya pun agak lama baru dapat terhubung dengan keluarga di Medan. Saat itulah Papa berkabar kalau Bang Iwan tiba-tiba muntah saat bangun tidur siang. Ketika diperiksa istrinya yang berprofesi sebagai dokter, tekanan darahnya naik. Hipertensi. Tanpa menunggu lama, keluarga yang ada di sana pun melarikannya ke rumah sakit. Lama kemudian kami belum saling berkabar lagi ketika tibalah saat telepon itu berdering di rumah kerabat di Bukittinggi. Selanjutnya, berita mengejutkan itulah yang membawa kami sampai di ruang tunggu bandara ini.

Saat itu, masih tersisip harapan, kalau Bang Iwan masih bisa diselamatkan, meski kabar yang langsung diterima dari dokter yang menanganinya, mengatakan kalau kondisi stroke-nya berat. Tapi saya dan suami saling menguatkan dan berharap, bahwa Allah adalah Maha Segala. Tak ada yang mustahil bagiNya. Kami berharap mukjizat yang sama, yang pernah menimpa diri saya 2 tahun yang lalu -dimana saya juga tengah berjuang antara hidup dan mati karena emboli paru pasca operasi- kembali terjadi pada Bang Iwan. Dalam keheningan hati, kami berdoa agar Allah berkenan menyembuhkannya.

Sesampainya di Bandara Polonia, kami langsung bergegas keluar terminal kedatangan. Sengaja kami tak membawa bagasi, hanya sebuah tas yang berisi keperluan satu dua hari saja. Di luar sudah ada yang menjemput. Kami pun langsung ke rumah sakit yang tak begitu jauh dari bandara.

Sampai di lobby rumah sakit, saya berusaha menenangkan hati yang kembali berdebur. Kaki saya rasanya lemah untuk melangkah. Terbayang wajah Papa dan Umak. Sejak kemarin saya menahan diri untuk tidak berkomunikasi dengan Papa. Saya takut menangis lalu membuat beliau semakin berkecil hati. Saya hanya sempat berbicara sebentar dengan Umak. Itupun dengan suara yang ditegar-tegarkan.

Kami lalu menaiki lift dan sampai di lantai 2. Begitu pintu terbuka, sudah banyak orang di ruang tunggu ICU itu. Sebagian adalah kerabat kami. Terlihat juga kedua anak laki-laki Bang Iwan. Saya langsung menyalami dan menciumi mereka. Mereka asyik bermain dengan sepupu-sepupu dari keluarga Ibunya. Riuh sekali. Tampaknya mereka belum sadar betul akan apa yang sedang terjadi. Setelah menyalami keluarga kakak ipar, saya pun mencari saudara-saudara saya, sementara suami saya langsung menemui kakak ipar yang sedang bersama dokter yang menangani Bang Iwan.

Saya lalu melihat kakak ke-empat saya sedang memangku putrinya di lantai, di dekat jendela. Ia bersama dua orang kakak perempuan saya yang lain sampai lebih dulu di Medan dari Jakarta. Kedua tangannya langsung terbuka lebar begitu melihat saya. Kami berdua pun berpelukan, bertangisan. Saat itu, saya merasa diri saya lebih kuat. Saya tak begitu banyak meneteskan air mata lagi. Mungkin perlahan mulai mengering.

Saya kemudian mencari Papa, Umak dan saudara saya yang lain di lantai 3. Dengan hati yang berdegup, perlahan saya membuka pintu musala dan langsung terlihatlah sosok Papa di sana. Tampaknya baru selesai salat. Saya langsung mendekati beliau, mencium tangan dan kedua pipinya. Saya tak sanggup berkata-kata. Pertahanan saya langsung rubuh begitu melihat wajahnya yang tegar dan sabar. Saya akhirnya menangis lagi.

Di musala perempuan, saya menemui Umak, yang langsung menangis begitu melihat saya. Oh, Umak…perempuan tegar itu luruh juga dalam kesedihan. Pastilah sulit baginya menerima kenyataan kalau anak lelakinya tengah terbaring lemah di ranjang putih itu. Tak banyak kata terucap dari mulut kami. Hanya doa saat Ashar itu saja yang menjadi penguat hati.

Lalu tibalah jam bezuk, pukul 5 sore. Tak sabar, saya ditemani suami lalu masuk ke ruang ICU. Mendapati Bang Iwan yang terbaring dengan ditemani monitor dan beragam alat-alat medis yang menempel di tubuhnya. Ya Allah… Hanya kekuatan dari Allah lah yang membuat saya tegar melihatnya. Tak ada lagi tangis. Saya lalu memeluk kakak ipar saya yang sedang berusaha keras menahan tangis di tepi ranjang. Mengalirkan kekuatan yang saya punya kepadanya.

Beberapa lama kemudian, saya pun berkeinginan untuk membacakan surah Ar-Rahman. Saya sampaikan niat itu pada suami, yang lalu menyetujuinya. Dengan syarat, jangan ada nada sedih ketika membacakannya, karena kondisi Bang Iwan sangat sensitif. Stimulus apapun sebenarnya dapat ia dengar dan memicu tekanan darahnya.

Saya pun menyanggupi. Sempat bersepakat, bila saya tak kuasa menahan tangis, saya akan berhenti membaca ayat-ayat Allah itu. Alhamdulillah, saya dapat menyelesaikannya dengan suara tegar, sambil berdoa agar Ar-Rahman, Sang Maha Pengasih, berkenan mengabulkan doa-doa kami demi kesembuhan Bang Iwan.

(bersambung…)

***

Share

8 thoughts on “Tentang Arti Kehilangan (2)

  1. aq terharu membacanya kak,
    gk terasa smpai meneteskan air mata..
    memang Allah yg Maha Tau segaLanya,
    kita hanya bisa berusaha, berdoa dan tawakkaL..

Leave a Reply to annisarangkuti Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: