Tentang Arti Kehilangan (1)

INI kehilangan pertama dalam keluarga inti saya. Keluarga yang selama ini kami rasa -dan orang-orang pun melihat dan merasakannya- sebagai keluarga yang damai, tenang, tanpa masalah berarti. Mungkin telah tercapailah makna sejati keluarga sakinah, mawaddah, warahmah itu. Orang-orang kerap menyatakan kesalutannya pada orangtua kami, yang katanya telah sukses menjadi orangtua. Sukses membesarkan dan mendidik ke-enam anaknya sedemikian rupa, sehingga seluruhnya tumbuh menjadi manusia-manusia dewasa yang berbakti pada kedua orangtua, sukses berkarir (bagi yang berkarir) dan juga sukses membina rumah tangganya masing-masing. Keluarga yang hampir tanpa cela. Begitu katanya…

Saya bukan sedang ingin membanggakan keluarga naungan saya ini. Saya hanya ingin merefleksi, menarik lagi ke belakang agar dapat menemukan hikmah tersembunyi yang ada di hadapan.

Teringat lagi saya akan makkobar terakhir yang kami adakan tanggal 1 Juli lalu. Sudah lebih dari 2 bulan rupanya. Saat itu Minggu malam. Kami berdelapan (Papa, Umak, dan kami enam bersaudara) berkumpul di suatu sudut rumah, dengan maksud membicarakan sesuatu yang bagi saya pribadi, sangat takzim -bila bisa dikatakan demikian-. Ternyata Papa yang punya rencana. Tiba-tiba beliau ingin seluruh anak-anaknya berkumpul di Medan, di rumahnya yang asri. Menurut beliau dan Umak, ini pertemuan sebelum Ramadhan tahun ini. Ada baiknya semuanya bertemu dan saling bermaafan. Alhamdulillah, semua anaknya yang tinggal di luar Medan menyanggupi untuk memenuhi undangan itu. Tak terkecuali saya tentunya.

Memang permintaan Papa ini tak lazim. Baru tahun ini, sebelum Ramadhan, Papa meminta kami semua berkumpul lengkap. Sempat terasa was-was dan tercium gelagat yang mengundang rasa haru. Akankah ini permintaan terakhir Papa?

Tapi buru-buru pikiran itu -meski melintas- saya enyahkan jauh-jauh. Tak pantas seorang hamba menduga-duga rencana Tuhannya. Jadi kami pun melalui acara makkobar itu dengan penuh rasa khidmat, penuh rasa haru, dan juga ruahan isak tangis tentunya. Tak perlu saya ceritakan apa yang dibicarakan di situ. Namun mungkin dapat tergambar dari penggalan kalimat saya, sebagai si bungsu, saat mendapat giliran untuk bicara pertama kali;

“…kita tidak tahu siapa di antara kita yang lebih dulu (mati). Tapi memang kita sebagai manusia harus dapat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi saat itu…”

Begitu kira-kira penggalan kalimat yang ternyata membekas di ingatan saya.

Mungkin saat itu, kedua orangtua saya, Papa dan Umak, merasa bahwa mereka lah yang lebih dulu daripada kami, anak-anaknya.

Mungkin saat itu, Papa dan Umak merasa bahwa Bang Iwan lah yang akan tinggal di rumah itu dan merawat mereka hingga senja mengelam, hingga ajal mereka menjemput.

Mungkin saat itu, Papa dan Umak merasa, sudah saatnya menyampaikan apa-apa yang perlu disampaikan untuk menjelang kematian yang bisa datang kapan saja.

Mungkin saat itu, Papa dan Umak merasa, mereka lebih tua umurnya, dan seyogyanya mereka lah yang lebih dulu dipanggil Tuhan.

Tapi apa yang terjadi?

Anak lelaki mereka satu-satunya, tumpuan harapan di masa tua, mendadak saja pergi. Tanpa pesan, kecuali memohon maaf lahir dan bathin. Dunia mereka berguncang. Dunia kami berguncang.

Kami lalu menyadari sebentuk kehilangan yang sebenarnya telah jauh-jauh hari ditakdirkan Tuhan. Rencana hidup pun berubah. Semuanya terpaku dan berpikir ulang tentang yang namanya hidup. Bahwa ternyata, yang masih muda, anak lelaki kesayangan mereka, yang lebih dulu menemui Tuhannya. Apa hendak dikata?

Sampai titik ini, keimanan kami, terutama keimanan Papa dan Umak sebagai hambaNya, benar-benar diuji. Inilah praktik langsung dari segala macam tausiyah-tausiyah pengajian yang kerap mereka ikuti. Inilah ujian nyata yang dihadirkan Tuhan di penghujung usia mereka. Mengundang haru dan iba, tentunya. Di kala senja usia, mereka harus dihadapkan pada kenyataan pahit; “Anakku pergi! Anakku lebih dulu dijemput ajal…”

Duhai…

Lalu kesedihan demi kesedihan pun menguar. Tak terkecuali saya, tentunya.

***

Sejak mula mendengar kabar bahwa abang mendadak sakit hingga dirawat di ICU, langsung terasa akan tibanya sebentuk kehilangan. Saat itu saya sedang di Bukittinggi, bersilaturrahim di rumah saudara, ketika tiba-tiba telepon suami berbunyi, mengubah suasana hati. Ah, tak disangka saya akan mengalami kejadian begini. Persis seperti adegan sekaligus dialog dalam sebuah sinetron;

“Apa, kak? Kenapa Bang Iwan? Ohh…”

Mendadak nafas saya tertahan demi mendengar nada suara suami yang melemah. Telepon lalu dialihkan ke telinga saya. Saya langsung mencoba mengantisipasi situasi buruk yang sedang terjadi. Saat bicara, suara saya tercekat. Ketika kata “koma” dari seberang diucapkan, saya pun tak sanggup lagi berkata-kata. Tiba-tiba saja ada isak yang menunggu untuk mengalir keluar dari kedua mata saya.

Tak lama, saya pun mohon izin keluar pada tuan rumah, diiringi pandangan iba, haru dalam suasana yang mendadak hening. Di beranda, bahu saya pun terguncang menahan tangis. Saya peluk erat suami yang mengikuti dari belakang. Berdua kami menangis. Lama sekali. Rasanya dunia saya sedang berputar, melawan jarum jam. Angin kencang sore itu menggigilkan hati dan pikiran saya. Saya sadar, saya akan kehilangan.

Di sela-sela kesibukan suami dan adik ipar untuk menghubungi teman sejawat mereka yang sesama dokter, agar segera membantu dan menangani Bang Iwan, saya merasakan lapisan-lapisan duka terbuka satu per satu. Pikiran saya otomatis langsung ke Papa dan Umak. Bagaimana mereka? Sanggupkah mereka menerima kenyataan ini? Kuatkah hati mereka mendapati kenyataan kalau anak lelaki mereka satu-satunya sedang berjuang antara hidup dan mati di ruang ICU?

Stroke. Karena stroke. Perdarahan luas di otak. Tipis kemungkinan untuk bisa melanjutkan hidup. Tapi sekecil apapun kemungkinan itu, kami masih berharap. Teguh berharap. Malam itu juga, operasi dilangsungkan. Segala upaya dan doa dikerahkan demi kelangsungan hidup anggota keluarga kami tercinta; Bang Iwan. Operasi berhasil. Bang Iwan masih bernyawa saat dipindahkan ke ruang ICU. Sejak itulah adegan drama kesedihan sekaligus harapan silih berganti. Membayangi hati dan pikiran kami semuanya.

(bersambung…)

***

>> Catatan Rabu. Dua minggu setelah sosok yang senantiasa dirindui; Ikhwan Hadomuan Rangkuti, berpulang.

Share

7 thoughts on “Tentang Arti Kehilangan (1)

Leave a Reply to annisarangkuti Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: