JUM’AT, 9 Januari 2015. Tawaf terakhir di Baitullah. Jamaah sedang ramai-ramainya. Saya dan teman serombongan yang perempuan tawaf wada’ sebelum salat Jum’at. Seperti hari-hari sebelumnya, berkeliling ka’bah tujuh putaran memberi kesan tersendiri. Meski penuh oleh manusia dan kadangkala ada rintangan, tapi entah mengapa, sangat nikmat bila dijalankan. Alhamdulillah… Maka doa terakhir di depan multazam adalah agar Allah berkenan memanggil saya lagi ke sini. Saat itu, barulah saya bisa merasakan, mengapa setiap orang yang pernah ke Baitullah mengaku selalu ingin kembali ke sana.
Selesai salat Jum’at dan setelah mengemasi semua barang bawaan, kami pun check out dari hotel dan bergerak ke Jeddah. Waktu tempuh dari Makkah ke Jeddah sekitar 1,5 jam. Di Jeddah kami menginap 1 malam sebelum pulang esok harinya. Tak banyak yang bisa dilakukan di kota internasional Saudi Arabia itu selain istirahat di hotel. Sebenarnya ada saja kegiatan kalau mau. Nge-mall misalnya. Hehe… Kalau mau jalan sendiri keliling kota sambil jalan ke mall, bisa naik taksi. Tapi entah kenapa, saya dan suami kurang tertarik berbelanja lagi. Lagian mau belanja apa? Di tanah air, mall juga banyak. 😀 Lagipula rasanya ada yang berbeda. Biasanya di waktu-waktu salat sudah di Masjidil Haram, tapi sekarang harus menyesuaikan diri lagi dengan salat di kamar hotel karena jauhnya masjid.
Syukurlah tiba juga waktu zuhur. Setelah salat dan makan siang, kami pun check out dan bergerak menuju bandara King Abdul Aziz. Tapi sebelumnya kami diajak berkeliling kota dulu. Tujuan utamanya adalah laut merah, di mana juga terdapat masjid Ar-Rahman (masjid terapung). Dinamakan masjid terapung karena bila air laut sedang pasang, tiang-tiang penyangga masjid akan terbenam oleh air laut sehingga masjid seolah-olah mengapung di atas laut.
Laut merah sendiri -khususnya di lokasi dekat masjid terapung- adalah laut tanpa pantai. Tepiannya dibatasi oleh batu-batu karang. Jadi orang-orang hanya bisa memandang air laut tanpa leluasa bermain di pinggirnya sambil kaki menyentuh air laut. Pemandangan dari masjid terapung ternyata lebih indah. Camar-camar laut terbang rendah dan sesekali menyentuh air laut. Pekik merdu suaranya menciptakan suasana laut yang semarak. Berdiri di teras masjid sambil merasai angin kencang yang dingin sungguh melenakan. Bersyukur saya sudah siap dengan jaket. Ternyata meski sedang di pantai dan matahari bersinar terik, angin musim dinginnya cukup bisa membuat tubuh menggigil.
Di hamparan laut merah, selain teringat kisah selamatnya Nabi Musa AS dan pengikutnya dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya, saya pun memotret beberapa objek yang saya kira juga “bercerita”.
Puas menikmati laut merah dan masjid terapungnya, bus yang kami tumpangi pun bergerak ke bandara. Waktu kepulangan semakin dekat. Di sinilah akhir perjalanan ke Haramain kali ini. Tentu kesan di hati lebih dari yang bisa dituliskan. Semoga masih ada waktu-waktu lain untuk mengunjunginya kembali. Dan sesiapa saja yang juga merindu, semoga segera segera mendapat panggilanNya ke sana. Aamiin yaa robbal ‘alamiin…
***
Alhamdulillaaahh sdh peenah menginjak Tanah Haram.
Mudah2annbisa bLik lagi ke sana ya Mbak, even itu umroh atau haji.
Semoga sgl doa2nya diijabah Alloh. Aamiin 🙂
Aamiin yaa robbal ‘alamiin..semoga suatu saat mbak Nisa berkunjung ke sana lagi juga yaa..aamiin 🙂
Aamiin ya Allah ya Mujib….
aku kira dulu laut merah itu airnya warna merah lo kak hehehe
Sama, mbak..aku dulu juga sempet mikir gitu..hahah..ternyata kayak air laut yg lain..hehehe..
Waa… jadi mupeng ke tanah suci >.<
Yuk, berdoa biar suatu saat bisa ke sana, mak Intan..in syaa Allah.. 🙂
Indah Sekali ya pemandangannya
Iyaa, mbak Maya..foto pertama saat langit sedang cerah 🙂
wah jadi pengin kesana :3
Hayuk, mulai berniat ke tanah suci, mas Fardhy.. 🙂
ماشاء الله
اللهم ارزق الحج والعمرة