Monolog Surat Putih (1)

Surat. Kita pernah akrab dengan kata itu ya, Bang? Surat. Kira-kira dua puluh tahun yang lalu. Saat aku masih duduk di bangku SD. Aku lupa persisnya kelas berapa. Pastinya, saat aku sudah cukup lancar membaca dan menulis. Hmmm…mungkin kelas 2 atau kelas 3. Kala itu, aku rajin menulis surat untukmu, Bang. Surat yang kutulis sendiri dengan tanganku. Aku juga lupa saat itu aku menulisnya dengan pensil atau pena. Yang pasti, aku dengan begitu yakinnya menulis kata-kata dalam surat itu sesuai tata cara penulisan yang baru kupelajari di sekolah. Aku menuliskan tempat dan tanggalnya di sudut kanan atas. Lalu salam pembuka berikut isinya. Tak lupa juga penutup. Tapi aku (lagi-lagi) lupa apakah aku menorehkan tandatangan kecilku atau tidak. Hmmm…kurasa iya, atau paling tidak ada namaku di situ.

Begini contoh suratnya (seingatku):

                                                                                                                                                                                                Medan, 7 April 1992

 

Assalamualaikum bang. Apa kabar?

 Bla bla bla bla bla bla

Bla bla bla bla bla bla

Bla bla bla bla bla bla

Bla bla bla bla bla bla

Tapi untuk tandatangan atau tanda namaku itu, aku lupa bagaimana menuliskannya. Apakah hanya “Adek” atau ada kata-kata “Dari” atau entahlah. Yang kuingat adalah aku begitu bersungguh-sungguh menuliskannya di atas selembar kertas yang kusobek dari buku tulis atau kertas HVS. Tak lupa aku sediakan penghapus jika ada kata-kata yang menurutku salah ejaan, salah maksud atau hanya kurang rapi (berarti aku menuliskannya dengan pensil ya). Pastinya sesuai pemikiranku yang kala itu masih amat sederhana.

Aku menuliskannya di meja makan. Terkadang ditemani Papa yang sedang mengetik di mesin ketiknya itu. Aku ingat, awal-awal menulisnya, terkadang aku bertanya pada Papa apakah tulisanku sudah benar atau belum. Terkadang kakak-kakak melihatku yang sedang serius menulis sambil tersenyum-senyum. Bahwa betapa semangatnya aku menulis surat untukmu, Bang. Tapi kadangkala mereka memuji tulisanku seperti ini;

“Bagus juga tulisanmu, Dek” atau “Rapi juga nulisnya, ya”. Begitu kira-kira. Dan aku pun makin semangat menulisnya.

Aku hanya bertanya basa-basi sebenarnya. Bukankah aku hanya ingin mempraktikkan pelajaran “menulis surat” yang kupelajari di sekolah? Tapi aku lupa apa saja yang pernah kutuliskan. Memangnya apa yang aku ceritakan di surat-surat itu, Bang? Adakah aku juga bercerita tentang keluarga kita di rumah? Adakah aku bercerita tentang Papa, Umak, atau kakak-kakak? Atau tentang aku di sekolah? Atau tentang apa saja kegiatan yang kulakukan seminggu itu, misalnya? Apa saja ceritaku saat itu, Bang? Masih ingatkah? Mungkin kau masih ingat karena saat itu kau sedang kuliah di Padang. Kau saat itu sudah beranjak dewasa. Pastinya segala kejadian tak begitu saja kau lupakan, bukan? Ah, aku begitu ingin tahu.

Lalu aku pun menerima balasan demi balasan suratmu. Saat itu hanya ada telepon. Tapi entahlah. Apa di awal tahun 90-an itu di rumah kita sudah ada telepon? Kalaupun ada, biaya telepon pasti mahal. Jadi kurasa saat itu lebih baik berkirim surat saja padamu. Aku lupa juga, apakah balasan suratmu itu kau lampirkan bersama balasan suratmu untuk Papa dan Umak, atau balasan itu khusus kau kirimkan untukku.

Begitu menerimanya, aku ingat, aku merasa senang. Balasanmu singkat saja sebenarnya, sama seperti isi suratku. Tapi dengan caramu menulis di lembar terpisah begitu, aku merasa surat-suratku kau hargai begitu rupa. Kau begitu pandai menyenangkan hati seorang gadis kecil sepertiku. Apalagi jika kuingat salah satu balasan suratmu. Aku ingat sekali, kau menyelipkan uang senilai Rp 500,- di lipatannya. Aku senang bukan main.

Ini untuk jajan, beli kue lapis. Begitu tulismu di surat itu. Kue lapis Pakcik di kedai dekat rumah kita. Itu jajanan kegemaranmu ‘kan, Bang? Haha! Aku tersenyum bahkan tertawa bila mengingatnya. Saat itu uang lima ratus rupiah bisa dibelikan kue lapis cukup banyak. Ketika itu saja, kedai mie sop di sebelah kedai Pakcik, menjual mie-sopnya seharga itu. Ah, mie sop si Mus. Itu juga kegemaranmu. Kegemaranku, kegemaran orang-orang di rumah.

Aku lupa apakah aku akhirnya benar-benar membelanjakan uang itu untuk membeli kue lapis atau kutabung atau kubelikan yang lain. Yang jelas, Papa begitu terharu saat kau menyelipkan uang di surat itu. Padahal kau di sana juga hidup pas-pasan sebagai anak kost, bukan? Dan uang itu, juga uang Papa sebenarnya. Hanya saja, demi memberi sedikit kejutan untuk adik kecilmu ini, kau rela menyisihkan sedikit uang bulananmu untukku. Itu hal sederhana yang begitu membekas di ingatanku, Bang. Uang Rp 500,- dan kue lapis. Ah

Aku tak ingat berapa lama kita rutin berkirim surat. Aku juga tak ingat sudah berapa surat yang saling kita kirimkan. Kupikir tak terlalu banyak, karena pelajaran “menulis surat”ku sudah berganti dengan tema pelajaran yang lain. Tapi meski demikian, aku ingat, jauh setelah tema pelajaran itu selesai, aku masih mengirimimu surat. Sesekali. Jika aku ingin mengetahui kabarmu atau aku ingin menyampaikan sesuatu. Coba nanti kutanya Papa. Masih ingatkah beliau tentang itu?

Sayangnya, aku tak tahu dimana surat-surat itu sekarang. Aku bahkan tak ingat apakah menyimpannya atau tidak. Kurasa surat-surat itu sudah terbuang saat kita pindah rumah dulu. Andai saja aku tahu betapa berharganya surat-surat itu sekarang, pasti aku akan menyimpannya rapi-rapi di dalam tas atau dimana saja tempat yang kuanggap aman.

Nah, apakah kau sendiri menyimpan surat-suratku, Bang? Kurasa kita sama saja. Tapi entahlah. Yang jelas, seiring merangkak naiknya usia kita, kita mulai melupakan hal-hal yang kita anggap terlalu sederhana untuk diingat. Pikiran kita pastinya lebih berpusat pada hal-hal tentang masa kini dan masa depan. Hingga akhirnya, kenangan tentang surat-surat kecil itu pun perlahan menghilang dan sama sekali tak pernah lagi kita nostalgiakan. Anehnya, kenangan itu sekarang muncul dengan sendirinya di ingatanku. Justru pada saat kita tak bisa lagi saling tersenyum dan tertawa bila membicarakannya.

Karena kau telah berpulang…

Karena kau telah beristirahat dengan tenang…

Tapi tak apa. Aku akan kembali menulis surat untukmu, meski kau pasti takkan membacanya. Aku akan menulis tentang apa saja yang kuingat tentangmu, Bang. Hanya agar kau senantiasa abadi dalam kenangan kami. Biar saja, nanti Allah dan para malaikat akan “membacakan”nya untukmu. Kalimat pertamanya (setelah salam) kupastikan tetap sama seperti dulu; Apa kabar, Bang?

***

Share

3 thoughts on “Monolog Surat Putih (1)

    1. Duh, maaf..mbak Leil jadi nangis pagi2.. 🙁

      Iya, mbak..amiinn doanya yaa..smoga Allah berkenan..amiinn..
      Ini catatan ingatan tentang almarhum..yang smoga bisa dituliskan semuanya..

      Makasih udah mampir baca ya, mbak..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: