Meriahnya Batagak Panghulu Sang Datuak Rangkayo Basa

Image

Ke Bukittinggi kali ini adalah rencana dadakan. Dengan persiapan seadanya, saya, suami dan seorang teman kami, Rul, berangkat pada Sabtu sore (30/11) kemarin. Menikmati akhir pekan di sana memang sudah jadi agenda beberapa kali, mengingat jarak Panyabungan ke sana cukup ditempuh 5 jam saja. Cukup, karena jarak Panyabungan – Medan lebih jauh, sekitar 12 jam.

Bila ke Bukittinggi, kami tak hanya berputar-putar di objek-objek wisata di sekitar Jam Gadang. Tapi selalu singgah ke Kotogadang, kampung halaman Mama mertua saya. Mama mertua saya di Medan yang tahu kami akan berangkat ke sana, tetiba jadi antusias. Pasalnya, di Kotogadang sedang digelar hajatan “Batagak Panghulu” atau disebut juga “Batagak Datuak”. Sudah jauh-jauh hari beliau mengingatkan akan adanya acara ini dan berharap kami datang mewakili keluarga, tapi kami belum mengiyakan. Beliau sebenarnya ingin anak dan menantunya ini bisa melihat prosesi adat yang jarang-jarang digelar. Belum tentu sekali setahun. Syukurlah saya dan suami memang tertarik akan hal-hal berbau adat. Jadi ke Kotogadang tanpa rencana sebelumnya pun oke saja. Hehe…

Image

Kebetulan, acara Batagak Panghulu yang digelar kali ini untuk meresmikan Brigjend. Pol. Drs. H. Boy Rafli Amar, SH, MH, sebagai Datuak dengan gelar Datuak Rangkayo Basa. Ia adalah datuak dari suku Koto, yang ternyata selama 100 tahun belakangan tak mengangkat seorang datuak. Barangkali selama ini karena tak ada yang dapat memenuhi persyaratan menjadi seorang datuak. Apalagi karena salah satu syaratnya, seseorang yang ingin menjadi datuak wajib memperistri perempuan dari Kotogadang juga. Namun lama kelamaan aturan adat yang tersirat itu mulai mengendur. Zaman telah berubah dan aturan adat bisa dibuat fleksibel. Itu tergambar jelas dari Batagak Panghulu kali ini, di mana Datuak Rangkayo Basa itu memiliki istri yang berdarah Jawa.

Image

Datuak adalah gelar yang bebas dan tak terbatas, itu yang saya rangkum dari obrolan dengan beberapa saudara yang hadir. Bebas dalam arti siapa saja bisa menjadi datuak di sukunya, asalkan mampu secara moril dan materiil dalam memimpin sukunya. Ia tidak harus dari keluarga si Polan atau si Polin, yang penting punya niat baik untuk memimpin sukunya dan mendapat persetujuan dari seluruh keluarga besar, lewat musyawarah adat tentunya. Gelar ini pun tak mengharuskan si pemegang gelar tinggal di Kotogadang. Mengingat sebagian besar penduduk asli nagari ini telah merantau ke berbagai tempat dan tak kembali lagi. Karena kerinduan akan kampung halaman lah mereka tetap bersilaturrahim dan membuat persatuan dengan sesamanya di perantauan.

Image

Tak terbatas, karena sekali gelar ini disandang, itu berarti akan terus menjadi Datuak seumur hidupnya. Absolut. Namun di balik kekuasaan yang berdampak pada meningkatnya status sosial itu, ia memiliki peran dan tanggung jawab yang tak kecil. Selain mengikuti ragam acara adat yang diadakan di Kotogadang -terutama yang membutuhkan kehadiran seluruh Datuak- ia harus memiliki visi dan misi tidak hanya untuk kepentingan sukunya, namun juga masyarakat Kotogadang secara keseluruhan. Jadi memang sudah sepantasnya seluruh datuak bersatu padu demi melestarikan budaya Kotogadang sekaligus memajukannya.

Image

Seorang datuak juga harus siap sedia secara materiil, karena gelaran batagak datuak ini bukan gelaran yang murah. Ia harus menyembelih seekor kerbau untuk dimasak dan dinikmati seluruh masyarakat nagari. Juga mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan hajatan tersebut. Itu semua murni dari kantong pribadinya sendiri. Maka tak heran, yang memangku gelar tersebut biasanya berasal dari kalangan status sosial dan ekonomi menengah ke atas.

Rupanya hajatan yang saya tonton kemarin adalah yang paling besar sepanjang sejarah batagak datuak di Kotogadang. Ini saya dengar dari beberapa orang kerabat yang turut menghadiri acara tersebut. Saya pun mengamini, karena acara tersebut dibuat meriah dan besar-besaran (baralek gadang). Megah sekali untuk ukuran acara batagak datuak, kata orang-orang yang mengikuti acara yang puncaknya pada hari Jumat (29/11) itu.

Image

Benarlah. Tenda yang didirikan bukan sembarang tenda. Tenda putih dihiasi lampu-lampu kristal dan dekorasinya itu memang cantik. Pun tatanan round table-nya. Sudah seperti round table di hotel berbintang. Begitupun panggung dan sajian prasmanannya. Ha! Di acara batagak datuak ada prasmanan? Baru sekali ini kejadian, kata mereka. Biasanya cukup makan “bajamba” saja, yaitu makan bersama dalam satu jamba (piring besar) dengan lauk gulai kancah, bebek cabai hijau, gulai nangka, dan beberapa lauk khas Kotogadang lainnya. Satu jamba itu maksimal untuk 5 orang. Saya sudah mencobanya kemarin. Dan pastinya seru sekali makan bersama ibu-ibu itu. Berebutan tapi malu-malu. Hahah..

Image

Rangkaian acaranya pun dibuat bernuansa protokoler khas pejabat. Di mana-mana ada polisi yang bertugas mengawal acara. Maklumlah, yang dikawal adalah acaranya perwira tinggi Polri. Rangkaian acara pun diadakan selama beberapa hari. Puncaknya adalah peresmian pengangkatan penghulu yang diberi nama Malewakan Gala, yang dimulai pada hari Jumat (29/11), dengan agenda Batagak Gadang, yakni menyampaikan pidato, lalu penghulu tertua memasangkan deta (penutup kepala kebesaran seorang Penghulu) dan menyisipkan sebilah keris sebagai tanda serah terima jabatan.

Hari Minggu itu adalah puncak terakhirnya, berupa jamuan makan dengan mengundang masyarakat dan beberapa pejabat penting, di antaranya Wakil Gubernur Sumatera Barat, Muslim Kasim, Kapolda Sumatera Barat, Brigjend. Pol. Nur Ali, Bupati dan Walikota se-Sumatera Barat, anggota DPR RI, Refrizal, dan tentunya tokoh nasional yang berasal dari Kotogadang, Prof. Dr. Emil Salim, yang merupakan mantan menteri beberapa departemen/kementerian di era orde baru.

Image

Sebagai hiburan di sela-sela acara kata sambutan, ditampilkan kesenian tradisional; tari dan silat, yang sungguh rancak dinikmati. Belum lagi acara semacam pesta rakyatnya di Minggu malam itu. Beragam permainan berhadiah disajikan. Tapi kami tak mengikuti acara pada sore dan malamnya karena lebih memilih plesir ke sekitar Jam Gadang dan berkunjung ke rumah saudara yang lain.

Saya dan suami sebenarnya tak menyangka akan mengikuti acara puncaknya di hari Minggu (1/12) kemarin lengkap dengan pakaian adat khas Kotogadang. Awalnya hanya ingin menonton saja dengan pakaian kasual. Tapi kemudian mendapat saran dari Mama mertua agar berpakaian Kotogadang juga. Jadilah, saya memakai kain, baju kurung, jilbab dan selendang khas Kotogadang milik Nenek. Sampai-sampai saya juga meminjam hiasan bros dari sepupu yang kebetulan juga ikut acara itu. Hahaha.. Sebenarnya ada perhiasan khasnya, tapi karena tak bawa, ya sudahlah. Berpakaian Kotogadang apa adanya saja. Suami saya sampai membeli baju guntiang Cino, sarawa Jao, dan sarung Bugisnya di toko. Yang ia bawa dari Panyabungan hanyalah peci hitamnya saja. Meski begitu, lumayanlah penampilan kami hari itu. Hehe..

Image

Ternyata saran itu berguna. Kami jadi tak sungkan berbaur dengan keluarga besar empunya gelar dan saudara-saudara yang lain. Juga percaya diri saja saat berfoto di dekat kepala kerbau yang dipajang di halaman rumah sang empunya hajat. Sebelum kami pulang pun, saya mengajak suami berfoto bersama datuak Rangkayo Basa yang baru dinobatkan itu. Bisa dibayangkan kalau kami meminta foto bersama dengan pakaian kasual saja. Wah..akan terasa ada yang kurang.

Image

Kalau saja acara batagak panghulu itu diikuti dari awal sampai akhir, pasti akan menarik sekali. Tapi mengikutinya dari Minggu pagi sampai siang saja sudah membuat saya cukup puas. Apalagi saya berkesempatan berfoto bersama bapak Emil Salim. Beliau saya cegat untuk berfoto di perjalanan menuju Masjid Tapi “Nurul Iman” sebelum salat Zuhur. Padahal sebelumnya banyak orang yang mengantre untuk berfoto bersama beliau. Beberapa wartawan pun tampak sibuk memanfaatkan momen kedatangannya untuk wawancara. Wow, tak terkira rasa senang saya berfoto bersama tokoh kharismatik tersebut. Itulah mungkin gunanya saya berpakaian ala Kotogadang. Haha… Alhamdulillah…saran Mama mertua tak sia-sia.. 😀

Image

***

>> Semua foto adalah dokumentasi pribadi, dijepret oleh Rul. Sayang, entah kenapa WP saya ini tidak bisa mengubah posisi foto menjadi vertikal, sehingga tak bisa mengunggah foto saya dengan Bapak Emil Salim. Hiks..

>> Menerima kritik, saran dan masukan untuk kelengkapan referensi artikel ini.

>> Sumber referensi;

Batagak Panghulu 1

Batagak Panghulu 2

Batagak Panghulu 3

Batagak Panghulu 4

Share

6 thoughts on “Meriahnya Batagak Panghulu Sang Datuak Rangkayo Basa

    1. hehe..yg penting berkecukupan, mbak Inge..soalnya milih yang berkecukupan juga ada maksudnya..salah satunya karena jabatan ini tidak mendapat gaji sama sekali, tapi justru membiayai acara adat yg digelar. Dia juga pastinya sibuk sebagai tetua yg memimpin sukunya. Kalau ada masalah, dia yg mesti turun tangan. Jadi, selain arif bijaksana dan matang kepribadiannya, seorang datuak juga diharapkan mapan secara finansial.. 🙂

    1. keliatan kayak emak2 sih iya, Uleng..ahahaha..

      iyaa, sebenernya pengen foto kepala sapi itu ada di sini, tp pas diupload kok ga bisa dirotate jd vertikal ya? Uleng kalo upload foto vertikal di wp sini bisa ga?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: