Menanti Rembulan di Paya Bulan


4

Ah, puitis sekali. Haha! Tapi ya, ini tentang sebuah tempat yang..hmmm..memang puitis. Senin (18/11) kemarin, bagi saya adalah rangkaian acara “siang jelang sore” yang berkesan. Sekira pukul 14.30, sepulang bekerja di rumah sakit, suami saya mengajak makan siang di Laru. Memang sih, dia sudah mengajak dari kemarin-kemarin.

“Pokoknya besok kita makan di Laru!” tekadnya.

Oke. Itu soalan gampang. Waktu tempuh Panyabungan – Laru hanya lebih kurang 45 menit. Tapi untuk ukuran di daerah seperti ini, waktu segitu bukan lagi “hanya”, tapi sudah cukup jauh kalau cuma untuk makan siang. Kalau di kota besar waktu segitu habis hanya untuk menempuh jarak dekat karena dibumbui kemacetan. Kalau untuk ke Laru ini, kita akan diajak mengitari gunung, menemui belokan-belokan tajam, sembari disuguhi pemandangan yang cukup indah. Dan waktu segitu, 45 menit itu, dilalui dengan gaya menyetir yang lumayan ngebut. Maklum, jam setengah tiga belum makan siang. Bawaan lapar pastinya. Hehe..

5

Kemarin itu kami bertiga dengan salah seorang teman. Sang teman belum pernah makan di Laru, jadi kami pikir sekalian sajalah. Dia belum sebulan tinggal di Panyabungan dalam stase luar kotanya yang 3 bulan. Ya, teman kami ini adalah dokter yang tengah menempuh pendidikan untuk menjadi dokter spesialis anak. Jadi dalam masa pendidikannya, diwajibkan mengabdi di daerah selama beberapa bulan.

Sesampainya di Laru, ikan asap gulai, sayur daun ubi tumbuk, mie pecal dan kerupuknya sudah menanti. Kami memilih salah satu pondok lalu memakan makanan pesanan dengan khusyuk. Haha! Nikmatnyaaa… Apalagi waktu itu cuaca sedang cerah, sehingga kami bisa makan sambil memandang sungai dan jembatannya di seberang sana. Sehabis makan dan ngobrol-ngobrol sejenak, kami memutuskan untuk mampir ke Paya Bulan. Mumpung hari cerah.

6

Paya Bulan? Di mana itu?

Kalaupun ditanya, saya akan bingung menjelaskannya. Tempat itu semacam tempat wisata, tempat bersantai untuk menyegarkan kembali tubuh dan pikiran yang penat. Lokasinya tak jauh dari tempat makan -tak bernama- di Laru tadi. Laru itu sendiri adalah nama sebuah kecamatan di kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara. Tentang letak Paya Bulan, saya agak lupa apakah itu termasuk kecamatan Laru atau kecamatan Pasar Maga di sebelahnya. Yang jelas, kalau kita sudah sampai di Pasar Maga dari Panyabungan, segeralah tengok ke kiri. Temukanlah pemandangan yang lain daripada yang lain. Saya yakin, setiap mata yang memandangnya akan berdecak kagum melihat areal persawahan luas yang tertata begitu indah.

7

Lalu carilah sebuah jalan kecil di jalan yang agak menikung. Jalan itu tak ditandai apa-apa seingat saya. Hanya sebuah bangunan kecil di sebelahnya. Berbeloklah ke jalan kecil yang lurus itu. Pelan-pelan saja. Nikmati semilir angin sepoi-sepoi, pemandangan hijau dilatari langit biru dan putih awan. Potretlah setiap objek lanskap yang bisa dipotret. Di kiri kanan sama saja indahnya. Jadi pada sesi ini mungkin kita akan berhenti sejenak, sekadar mengabadikan sebuah momen indah seperti yang sering kita lihat di lukisan-lukisan.

Kira-kira 500 meter, kita sudah sampai di tempat di mana kita bisa menikmati alam dan memotret dengan lebih leluasa. Di sebelah kanan ada sebuah padang rumput yang luas, mungkin bisa disebut stepa. Padang rumput itu dikelilingi pagar kawat dengan satu pintu masuk/keluar. Di pintu masuk, ada tulisan agar pengunjung membayar Rp 2000,- per orang. Jumlah yang murah untuk membayar pesona keindahan alam semacam ini. Hanya seperti retribusi parkir kendaraan. Itupun dimintai oleh beberapa anak, sepertinya anak dari keluarga yang tinggal di stepa itu. Anak-anak kecil dan betul-betul masih ingusan -dalam arti harfiah.

8

Seingat saya ketika pertama kali ke sana -saat itu hanya lewat- ada sebuah warung sederhana yang menyediakan minuman dan makanan semacam mie instan. Tapi agaknya warung itu tutup, sehingga praktis pengunjung hanya bisa puas memanjakan mata tanpa memanjakan perut. Tak apa juga sih. Tokh, kami sudah makan. Hehe

Lalu dimulailah petualangan memotret di tempat ala “Little House on the Prairie”. Atau kata seorang kawan yang kemarin melihat salah satu foto stepa ini di facebook; seperti bukitnya Teletubbies. Haha! Benar juga. Sayangnya, saya tak membawa kamera. Handphone jadul saya juga tak memungkinkan untuk mengabadikan setiap sudut tempat itu. Untunglah handphone suami cukup canggih untuk memotret keindahan alam sore itu. Keindahan yang sesungguhnya hanya bisa dinikmati oleh lensa mata. Lensa kamera tak mampu mengabadikannya sesempurna lensa mata kita. Subhanallah.

9

Di sana-sini, tersebar kerbau-kerbau entah milik siapa. Merumput di dekat kolam yang mirip danau, di bawah pohon, di mana-mana sejauh mata memandang. Sungguh, kerbau-kerbau yang merumput dengan damai ini menjadi salah satu daya tarik komposisi gambar ketika diabadikan. Indah sekali. Ada pula sungai kecil yang mengalir di dekat salah satu “danau”. Membasahi rerumputan yang dialirinya. Suasana yang sepi pengunjung -hanya ada dua sejoli di ujung sana- tenang, hening, dan damai, menambah kekaguman akan ciptaanNya itu. Serasa entah di mana.

Ah, begitulah. Ada saja tempat-tempat menarik yang terselip di balik tempat-tempat yang menurut banyak orang antah berantah. Tak terekspos, tak terpublikasi, tapi nyata adanya. Tempat-tempat semacam itu saya kira banyak di Mandailing Natal ini. Hanya saja tak terjamah, karena infrastruktur jalan yang kadang kurang memadai untuk jalur transportasi. Atau tak dikembangkan karena para pejabat daerah dan masyarakatnya tak mengerti jika tempat-tempat itu bisa dijadikan aset daerah sebagai objek wisata.

11

Tapi biarlah. Ada untungnya juga bila tempat-tempat wisata kampung semacam itu tak terlalu dikenal. Agar tetap alami, bersahaja, dan tak terganggu ulah usil manusia yang mengeksploitasinya sedemikian rupa. Pula tak paham cara memelihara keindahannya. Setidaknya ini jadi pemikiran sendiri bagi saya pribadi. Bahwa sebenarnya kampung halaman saya, tempat domisili saya sekarang, tak kalah indah dibandingkan tempat-tempat lain yang ada di Indonesia ini.

Senja makin dekat. Langit berubah mendung. Kami pun bergegas pulang, membawa kesan manis dan pikiran yang segar. Kali lain, ingin rasanya menikmati malam purnama di Paya Bulan. Hmmm..seperti apakah indahnya?

12

14

15

16

1

***

Share

3 thoughts on “Menanti Rembulan di Paya Bulan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: