Lobster, si Raja Udang yang Tak Merakyat

IMG_1940

INILAH salah satu poin enaknya tinggal di daerah, apalagi daerah yang relatif dekat dengan laut. Seumur-umur, saya baru sekali makan lobster. Sekali-kalinya makan lobster saat medio 2013 lalu, ketika saya, suami dan teman-teman berwisata ke pantai barat di Natal, Mandailing Natal. Belinya juga bukan di pasar ikan pinggir lautnya itu, tapi di rumah temannya teman suami (semoga nggak bingung ya..hahaha..). Temannya teman suami saya itu menjadi semacam agen untuk usaha ekspor hasil laut. Jadi dia memiliki penangkaran lobster yang bila panen, hasilnya langsung dikirim ke Padang untuk kemudian diekspor ke luar negeri.

Masih buruknya kondisi infrastruktur jalan menuju Natal membuat kami jarang ke sana. Sayang sekali. Keindahan alam yang seharusnya bisa dinikmati sepanjang perjalanan mesti dihiasi ketidaknyamanan berkendara. Kami berkunjung untuk kedua kalinya di awal Maret 2014 lalu. Rindu juga rasanya menikmati indahnya pantai barat dengan pasir putihnya itu. Jalan-jalan kali ini dirasa lebih asyik dengan rencana “bakar-bakar ikan” di tepi pantai. Wah, sudah terbayang asyiknya! Satu hal lagi yang membuat kami begitu bersemangat; lobster. Hampir setahun tak menikmati hasil laut yang satu itu membuat lidah saya rindu mencecap gurihnya daging lobster goreng yang dicocol sambal kecap. Makannya dengan nasi panas dan lalapan saja. Waaahh..bikin ngiler!

Singkat cerita, setelah berasoy-asoy di pantai pasir hitam maupun pasir putih sambil bakar-bakar ikan segar yang baru dibeli di pasar ikan dan menikmatinya sembari menatap laut lepas, kami pun menuju rumah temannya teman suami untuk membeli lobster. *Wew, panjangnya kalimat ini. Hahaha..

IMG_1955

Sayang, lobster yang berjenis lobster pasir (Panulirus Cygnus) yang masih tersisa cuma tiga ekor. Dua yang berukuran besar, satu lagi berukuran kecil. Beratnya sekilo lebih. Harga sekilonya Rp 450.000,- Jumlah yang wow memang, tapi kalau untuk santapan sekali setahun, kenapa tidak? Yang menginginkan lobster itu bukan cuma saya dan suami. Tapi juga seorang teman yang lain. Maka jadilah, saya dan suami mengambil seekor yang besar, sisanya dibeli sang teman. Ketika ditanya kenapa sisa lobsternya cuma sedikit, padahal kami ingin membeli lebih, jawabannya membersitkan rasa kecewa. Kebanyakan lobster dikirim ke Padang untuk diekspor, dan sisanya yang sedikit itu untuk dijual pada siapa saja konsumen yang datang membeli.

Kenyataan bahwa hasil laut kita sendiri lebih banyak diekspor ke luar negeri itulah yang sebenarnya mengecewakan. Saya jadi teringat ketika tahun lalu ke pasar ikan di Natal itu, hasil laut yang dijual para pedagang tampak sedikit jumlahnya. Saya waktu itu ingin membeli kepiting rajungan. Ketika ditanyakan pada salah satu pedagangnya -yang sudah jadi langganan teman suami- barulah si pedagang mengajak kami ke semacam gudang penyimpanan hasil laut untuk diekspor. Di dalam ruang berlantai dan berdinding kayu yang tak terlalu besar itu, ada banyak peti es yang berisi hasil laut; ikan, kepiting, yang sudah siap kirim. Karena si pedagang sudah kenal dengan teman suami, dia mau membuka salah satu peti yang penuh berisi kepiting rajungan yang besar-besar untuk dibeli. Mau tahu ke mana sedianya kepiting itu akan diekspor? Ke Malaysia.

IMG_1961

Saya yakin, itu adalah kenyataan yang selalu ada di wilayah perairan kita, yang kaya hasil lautnya. Segala hasil laut yang berkualitas baik, kebanyakan akan diekspor dan dinikmati oleh orang asing. Saya sedih dan menyesalkan, kenapa orang asing yang puas menikmati dan merasakan manfaatnya, sementara para nelayan kita bersusah payah mencarinya di laut, menjualnya dengan harga lebih murah dari harga pasaran ke para toke, lalu hasil laut yang nikmat bergizi itu dijual ke negara lain, dan kita masyarakat Indonesia tercinta ini harus puas hanya menikmati sisanya. Sisanya itu pun seringkali sudah tak segar jika sudah sampai ke pasar tradisional ibukota kabupaten, apalagi kota besar sana.

Untuk hasil laut berkualitas ekspor, hanya bisa dinikmati masyarakat kelas menengah ke atas dengan menyantapnya di restoran-restoran seafood yang mahal. Saya tak berani membayangkan jika saya menyantap lobster itu di restoran di kota besar. Mungkin seekornya sudah berharga jutaan. Saya hanyalah bagian masyarakat Indonesia yang merasa beruntung, bisa menikmati hasil laut langka -karena setahu saya tak pernah ditemui di pasar tradisional maupun modern- hanya karena “kebetulan” berdomisili dekat laut, sehingga harganya bisa ditawar lebih murah.

Saya hanya berpikir, alangkah ironisnya kita yang tinggal di negara maritim yang kaya akan hasil lautnya ini tak selalu mencicip ikan-ikan segar hasil tangkapan nelayan kita, khususnya hasil laut yang biasanya dijual mahal di luar sana. Semestinya masyarakat kita yang lebih banyak menikmati manfaat hasil laut yang bergizi tinggi itu, yang akan berpengaruh pada kecerdasan dan -akhirnya- kemajuan suatu bangsa. Lihatlah bangsa Jepang yang lebih banyak mengonsumsi hasil laut sebagai menu makanannya sehari-hari. Bisa jadi apa yang mereka makan itu adalah hasil laut kita, sementara kita sudah cukup puas dan bangga dengan gempuran makanan-makanan cepat saji a la barat yang kandungan gizinya lebih rendah.

IMG_1963

Yang lucunya, para nelayan dan orang-orang di pinggir pantai sana kebanyakan lebih memilih menjual semua hasil tangkapannya untuk ditukar dengan uang, daripada menyisakan sedikit hasil laut segar untuk dinikmati sendiri dengan keluarganya. Tapi yah begitulah. Serba salah memang. Nelayan dan para toke berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan cara yang mereka pilih adalah menjual hasil laut yang nyaris tak berbatas. Pemerintah pun seolah tak peduli. Sampai saat ini belum memperbaiki infrastruktur jalan agar proses distribusi hasil laut berjalan lancar sampai ke kota. Ditambah lagi dengan daya beli masyarakat yang kurang karena berbagai faktor. Maka tak heran jika para toke itu memilih menjualnya ke luar negeri dengan keuntungan finansial yang jelas untuk menyokong hidup. Kalau begini terus, mau sampai kapan kita hanya jadi penguras dan penjual hasil laut negeri sendiri untuk dinikmati asing? Kalau saya tak pernah tinggal di daerah sini, bisa jadi lobster hanyalah sebentuk foto yang tersaji di restoran mewah tanpa ada daya untuk menikmatinya.

 ***

>>Semua foto adalah dokumentasi pribadi (AFR).

>> Cara memasak lobsternya menyusul ya..hehehe.. 🙂

Share

18 thoughts on “Lobster, si Raja Udang yang Tak Merakyat

  1. aarkkk belum pernahhhhhhhhhh huhuhuhu…..yang masih bikin penasaran sampe sekarang,lobster sama udah raksasa,pingin bingitttssss…. >_<
    jadi,kita dikasih sisa gitu???hickz

    1. aaarrkk..harus nyobaiiiinn..hihihi..mumpung masih deket laut, mbak..hehe..tapi di Batam pasti lebih mahal ya? kalo udang galah sih udah pernah juga nyobain di resto seafood gitu, mbak..enaaakk..tapi ya jarang2 makannya..hahaha..

      iyaa..sedih yaa kita cuma makan yg sisa2nya aja..hiks..serba salah sih, mbak..kalo dijualin di pasar belum tentu orang banyak yg beli karna harganya mahal..kalo dijualin murah ya pedagang yg rugi.. 🙁

  2. salah satu alasan kenapa memelihara lobster air tawar ya begini ini. lobster laut mahal bingit! lumayan lah bisa incip-incip lobster air tawar, meskipun sayang juga mau dimakan :))

  3. ngomong2 rasa lobster itu gimana bu? saya belum pernah makan lobster -__-

    Tapi mau gimana lagi bu, lha wong mayoritas nelayan (khususnya tradisional) di indonesia itu ber-Ekonomi rendah.. alhasil setiap hasil lautnya mereka jual demi uang, -_- agak miris memang

    1. ya, memang prihatin kalo mikirin nasib nelayan kita..mereka sebenarnya butuh bimbingan dan pendidikan untuk meningkatkan taraf hidupnya..

      hmmm..rasa lobsternya enak, gurih, apalagi kalo belinya hidup2 ya..dan langsung dimasak..ayo, kalo ada kesempatan kapan2 nyobain..jangan orang asing aja yg sering nyobain hasil laut kita.. 🙂

  4. Hai mak. Duh itu lobster menyeramkan sekaligus menggiurkan, ya. Pengin deh sesekali nyoba makanan laut segar gitu, tapi harus siapkan mental dengan efek yang ditimbulkannya nih, secara aku alergi makanan laut. Makasih sudah berkunjung ke blog ku

    1. Hallo, mak Miraa..woohh..mak alergi makanan laut ya? Tapi biasanya kalo orang2 yg alergian makan seafood yg seger gini ga kenapa2 sih, mak..tapi mungkin beda2 tiap orang ya..

      Makasih juga udah mampir ya, maak.. 🙂

  5. you tell me about it mbak…
    sekilo lobster bambu hidup di Everfresh Palembang di tag Rp.980.000
    kbanyakan jd ornamen doang sih, krn yg sanggup bayar juga bs diitung jari….
    aku sendiri pernah ke penampung besar lobster hidup n ikan laut hidup di Jakarta, emang pasar lokal blm siap buat seafood hidup,
    yg dijual di pasar lokal mlh sisa sortir ekspor yg udah mati

    1. Iyaa..mahal bgt emang ya..sedih juga rasanya kita yg punya laut segini luas ga semua bisa menikmati hasil lautnya..

      Btw lobster bambu, sama kayak kerang bambu kali ya..sama2 mahal..hehe..

      Makasih udah mampir ya 🙂

  6. Dear all,

    Sekarang untuk makan lobster ud ngg ribet sist…klu sist di surabaya sudah bs mencicipi lobster siap saji berbagai rasa dengan harga murah..siap antar ke tujuan tanpa ongkir..untuk order visit aja juallobstermurah.blogspot.com , kami juga jual frozen lobster mentah yg siap kirim ke seluruh indonesia, pastinya dgn biaya ongkos kirim yg berlaku 🙂 monggo di order sist

  7. kalo mudik ke Sibolga trs lanjut ke Sorkam, aku slalu happy krn seafoodnya murah2 bangeettttt ^o^ malah kdg gratis krn si pemilik masih sodara ;p Daging manisnya itu ya mba…duhhh bikin nagih

    Untung di JKT ada resto lobster yg murah tapi enaaakkk. lumayan bisa muasin kerinduan ama lobster ;p

    1. Woohh..Mak Fanny orang Sibolga? Iyaa..di sana seafoodnya lumayan harganya ya..masih seger lg..tp aku blm pernah nyobain lobster dari Sibolga.. 🙂
      Emang resto lobster yang murah di Jakarta itu di mana, mak? Siapa tau kan ke sana..hehe..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: