Koleksi Barang Superhero, Baguskah Untuk Perkembangan Anak Balita?

Koleksi Barang Superhero, Baguskah Untuk Perkembangan Anak Balita?

 

KALAU kata “koleksi” merujuk pada KBBI, maka dapat dipastikan kalau saya tak punya hobi mengoleksi apapun. Beli baju, kosmetik, atau apapun rasanya hanya karena faktor kebutuhan saja. Faktor keinginan juga pasti ada tapi tak harus ini dan itu. Tak mesti beli ini itu karena ingin mengoleksi semua warna atau semua tipe, misalnya.

 

Arti koleksi menurut KBBI (KBBI App)

 

Mungkin definisi koleksi bisa disematkan pada anak saya.
Memang sih, dia tak pernah minta secara khusus, cuma karena kebetulan melihat sesuatu yang berbau superhero saja baru ia minta dibelikan.

 

Tepatnya kami tak tahu pasti sejak kapan Arsya, anak kami itu, kenal dengan tokoh-tokoh superhero Marvel macam Spiderman, Captain America, Iron Man atau Hulk. Atau karakter DC Comics: Superman, Batman, Robin, Cyborg, Flash, dll.

 

Padahal seingat saya, kami tak pernah khusus mengenalkannya dengan para tokoh fiktif itu. Besar kemungkinan dari Youtube, yang mulai kami perbolehkan sejak umur setahunan. Tapi saat menonton pun sebenarnya diawasi, sambil menonton bersama. Dan tak pernah saya putarkan video selain lagu anak-anak, film kartun, video anak muslim, dan semacamnya. Maka kesukaannya yang tiba-tiba pada para tokoh superhero itu masih menjadi misteri sampai sekarang. 😅

 

Sejak dia “memperkenalkan” minatnya pada segala yang berbau superhero, saya dan suami lalu mulai membelikan apapun barang yang berbau superhero untuknya. Mulai dari pakaian, mainan, alat makan, alat gambar, buku, sampai parfum dan diapers. Totalitas. Hahah..

 

Setiap dibelikan barang-barang bergambar superhero itu dia selalu tampak antusias. Yang awalnya susah diajak ke kamar mandi jadi gampang gara-gara diiming-imingi baju bergambar Captain America dan diapers bergambar Batman, Superman, Flash, Cyborg atau Robin.

 

Sebagian koleksi barang superhero Arsya. Eh, susu UHT-nya masuk barang koleksi nggak, ya? 😂

 

Papanya yang paling rajin membelikan segala sesuatu berbau superhero itu. Lama kelamaan, barang-barangnya itu bisalah disebut koleksi karena banyaknya. Agaknya industri mainan, pakaian, apapun, tampak memanfaatkan kesukaan anak-anak terhadap para tokoh superhero ini. Semua serba superhero. Sampai susu UHT dan eskrim bergambar superhero. Ke minimarket pun yang dicari adalah stationary atau makanan bergambar superhero. Warbiasak ini virus superhero-nya.

 

Sering sebenarnya saya bertanya-tanya apakah yang saya dan suami lakukan ini salah?

 

Jadi saya mencari beberapa referensi. Hasilnya, memang anak usia balita sedang dalam puncak imajinasi. Khusus untuk anak laki-laki, ia senang membayangkan dirinya sebagai sosok yang kuat, lengkap dengan kostum yang menarik perhatian. Meskipun sebelumnya belum pernah melihat sosok superhero itu secara khusus dari tontonan atau komik.

 

Ada sih positifnya, seperti anak belajar hal dasar tentang baik dan buruk, jadi belajar berpikir untuk menolong orang lain (teman atau adiknya), merasa bisa melakukan apa saja sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan dirinya. Juga jadi lebih bersemangat jika diberikan suatu tugas.

 

Untuk Arsya, barang-barang berkarakter superhero bisa dijadikan reward atau alat untuk memotivasinya melakukan sesuatu yang baik, seperti mau diajak ke kamar mandi.

 

Negatifnya, naah ini. Ini yang membuat saya ingin berhenti untuk memberinya berbagai macam barang yang berbau superhero. Superhero yang ada sekarang lebih banyak memamerkan adegan kekerasan. (Eh, bukannya dari dulu, ya? 😅). Juga, karakter superhero perempuan itu loh, melulu mengumbar aurat. Hehe. Lha iya, coba lihat itu bajunya Wonder Woman, Bat Woman, Supergirl, Black Widow, atau apalah. Seksi-seksi semua. Ckckck. Syukurlah Arsya lebih banyak tahu yang superhero laki-laki, meskipun dia tahu juga mana yang namanya Wonder Woman atau Black Widow. 🙈💆

 

Lemari dan salah satu baju superhero Arsya

 

Meskipun tidak menonton filmnya, tapi konten anak-anak di Youtube pun, seringkali mencitrakan superhero itu beringas dan agresif saat akan menaklukkan lawan. Iya, sih, kalau sudah paham ceritanya tak apa juga. Tapi ini yang masih usia balita disuguhi tontonan seperti itu terlalu berisiko. Anak yang masih dalam tahap berpikir konkret masih belum dapat mencerna dengan baik dari apa yang dilihatnya.

 

Tak hanya tontonan, lihat saja cover buku gambar, sablon di baju, atau apa saja yang ada superhero-nya. Mana ada sih, superhero yang ekspresinya tersenyum (kecuali mainan Lego)? Apalagi Hulk. Aaiihh, saya paling sebel kalau sudah melihat ekspresi buto ijo itu di buku mewarnai Arsya. Ekspresi marahnya itu, loh!

 

Maka saya kadang suka bilang pada Arsya, “Ini Hulk-nya kok marah-marah aja mukanya, Nak. Nggak usah dicontoh, ya. Nggak boleh marah-marah, ya. Kita harus banyak senyum.”

 

Atau saat dia melaga dua boneka karakter superhero seperti sedang berkelahi.

 

“Duh, jangan berantem, Nak. Kasihan loh itu Spiderman sama Iron Man-nya. Kalo berantem nanti ada yang luka, sakit. Ayok, Spiderman sama Iron Man-nya salaman dulu.”

 

Begitulah. Kadang-kadang malah Bundanya ini diajak berlaga layaknya superhero. Hahaha. Ada-ada saja.

 

Lego Duplo seri Superhero

 

Tak bisa dimungkiri, imajinasi anak memang tak dapat dibendung. Anak seusia Arsya belum betul-betul tahu pula batas antara imajinasi dan realita. Yang jelas, ini jadi PR buat saya dan suami. Arsya harus senantiasa didampingi, khususnya saat ingin menonton Youtube. Sambil menonton atau bermain dengan karakter superhero-nya, kami bisa memberikan arahan tentang apa yang baik dan buruk dari yang dilihat atau diperagakannya.

 

Memang tidak bisa serta merta mengalihkan perhatian Arsya dari kesukaannya itu, tapi setidaknya pelan-pelan dia belajar tentang baik buruknya kalau terus dibimbing dan diarahkan. Lagipula, siapa sih anak-anak yang pada masa balitanya tak punya tokoh imajinasi panutan? Maka menyeimbangkan perhatiannya dengan memperkenalkannya dengan karakter lain yang lebih ramah anak adalah hal yang paling memungkinkan.

 

***

 

Ditulis untuk tema ke-11 Blogger Perempuan Network 30 Days Challenge 2018.

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: