[Jelajah Sumbar] Dari Jembatan Akar Sampai Bukit Langkisau

Kota Padang yang berlokasi di tepi pantai.
Kota Padang yang berlokasi di tepi pantai.

 

Padang. Ada sebentuk nostalgi di ibukota Sumatera Barat ini. Saya pertama kali menginjakkan kaki di Padang tahun 1995. Waktu itu abang saya (almarhum) wisuda setelah 4 tahun merantau ke sana. Saya sebagai si bungsu pun diajak papa dan umak untuk ikut menghadiri acara wisudanya itu. Saya yang memang ingin jalan-jalan ke sana, tentunya girang bukan main. Waktu itu saya baru beberapa minggu duduk di kelas 1 SMP. Masih anak baru. Hehehe..

Sembilan belas tahun kemudian, tepatnya di bulan Maret kemarin, saya berkesempatan menjejak kota Padang lagi. Wah, senangnya! Selama beberapa tahun terakhir hanya bisa mencicip bandara Minangkabaunya saja, yang terletak jauh dari pusat kota. Itupun cuma sekali dua. Ingin ke kotanya, selalu tak sempat, karena kalau ke Sumatera Barat, saya dan suami lebih banyak menikmati waktu di Bukittinggi, kampung halaman mertua saya.

Kebetulan di bulan Maret itu suami punya agenda acara di Padang. Selesai acara, kami memanfaatkan waktu untuk jalan-jalan bersama rombongan teman-temannya. Tujuan kami ada beberapa, yang semuanya direncanakan akan selesai dilalui hari itu.

Pertama kali kami ke rumah makan yang menjual gulai kepala ikan di daerah Teluk Bayur, dekat Tempat Pelelangan Ikan. Sayang, tempat ini tak sesuai gambaran saya. Saya sebenarnya ingin makan gulai kepala ikan di RM Keluarga, Bungus, beberapa kilometer lagi dari situ. Saya penasaran betul dengan gulai kepala ikan yang menurut Pak Junanto sebagai gulai kepala ikan paling enak sedunia! Ugh, siapa yang tak penasaran? Tapi namanya juga jalan rame-rame dengan rombongan. Tujuan tempat makan dan seleranya tak selalu sama. Akhirnya kami berencana esok harinya saja jalan sendiri demi memuaskan rasa penasaran akan lezatnya gulai kepala ikan di RM Keluarga itu. Kapan lagi jalan jauh sampai ke Padang? 😀

Selesai makan, kami dan rombongan meneruskan perjalanan hampir 2 jam ke daerah Bayang Utara, Kabupaten Pesisir Selatan. Ada apa di sana? Maklum, saya dan suami cuma ikut saja rencana jalan-jalan rombongan ini. Jadi kami tak tahu objek wisata yang akan kami tuju. Kami seluruhnya menumpang 6-7 mobil (saya lupa), di mana kami hanya mengikuti jalan leader perjalanan yang di depan. Seru sih konvoi begitu. Jadi waktu berhenti di satu titik, rasanya seperti semacam kejutan. 😀

Ketika turun dari mobil, hujan masih mengguyur meski tidak lebat. Sepanjang perjalanan ke Bayang Utara ini memang diselingi hujan. Waktu itu kabut asap Riau yang sampai ke daerah sana baru saja menipis. Meski hujan, kami tetap saja menuju ke satu jalan kecil dengan tangga menurun di sisi kiri jalan tanpa payung. Tulisan di pintu masuknya yang sekilas saya baca “Jembatan Akar”. Wah, kita mau melewati jembatan?

Waktu sampai di bawah dan jalan terus ke depan, barulah saya tahu bagaimana wujud jembatan akar itu. Jembatannya persis dengan yang ada di film-film semacam Indiana Jones. Terbuat dari akar dua pohon beringin yang berseberangan. Akar-akar kekarnya terjalin kuat sedemikian rupa. Dan lihatlah sungai besar yang ada di bawahnya. Karena hujan, aliran sungai itu makin deras namun tetap jernih. Waah, menarik sekali!

Karena hujan sempat menderas, kami berlindung di bawah atap sebuah warung yang tutup di dekat jembatan. Saya saja yang tak sabaran menunggu hujan reda. Saya ajak suami untuk berfoto di mulut jembatan, di bawah hujan. Seru! 😀

Syukurlah, tak lama kemudian hujan pun mulai reda. Beberapa anggota rombongan mulai berani melewati jembatan yang karena hujan jadi licin itu. Saya pun memberanikan diri melewatinya. Justru karena baru hujan, lebih mantap pakai alas kaki, karena bertelanjang kaki akan terasa semakin licin. Pelan-pelan, sampai hampir merangkak karena takut terpeleset. Kalau melihat bentuknya, jembatan ini aman karena agak melengkung sehingga ada akar untuk berpegang. Kawat berduri tampak menjulur di sepanjang jalinan akar itu. Mungkin agar orang-orang tidak duduk-duduk di pinggirnya, karena berbahaya pastinya.

Sampai di ujung dan turun ke sungainya yang jernih dan berbatu-batu besar, rasanya senang sekali. Airnya sejuk dan segar. Ada juga semacam air terjun kecil di sana. Hmmm..apa tepatnya untuk menyebut ini, ya? Yang jelas, ada air pegunungan yang mengalir melewati bebatuan di salah satu sisinya. Aiihh..rasanya ingin berlama-lama di situ, sekadar duduk-duduk di batu-batu besarnya saja.

***

Satu jam lebih di jembatan akar, kami dan rombongan bergerak lagi ke arah Painan. Nah, ini yang paling saya tunggu-tunggu. Sudah lama saya ingin sekali ke Painan ini. Sering dengar kalau Painan memiliki objek wisata yang indah. Saya penasaran, seperti apa sih?

Menuju sana kira-kira satu jam perjalanan dari Bayang Utara. Untuk ke sekian kalinya saya dibuat terkesan akan infrastruktur di Sumatera Barat ini. Semua jalan sampai ke gang-gangnya teraspal rapi. Daerahnya pun bersih, tenang, tertata, asyik sekali sebagai tempat tujuan wisata. Bisa dikatakan, infrastruktur, alam dan budayanya ramah sekali bagi para pelancong. Di mana-mana tersebar pemandangan yang memanjakan mata. Tak heran kalau sepulangnya dari ranah Minang, ada perasaan selalu ingin kembali ke sana.

Kami sudah sampai di satu titik ketika mobil yang kami tumpangi berbelok tajam naik ke atas. Tanjakannya saya taksir memiliki sudut kemiringan 45 derajat atau lebih. Makin naik, makin tersingkap rahasia di balik tetumbuhan di sisi kiri kanan jalan. Lihatlah, di bawah itu ada pantai yang indah! Masya Allah...luar biasa!

Tak sabar rasanya sampai di atas. Beberapa menit jalan menanjak, kami tiba di tujuan. Sekilas saya baca di satu titik. Di marka jalan tadi atau di mana, ya? Bukit Langkisau nama tempat ini. Setelah parkir, kami pun turun dan menaiki tangga untuk sampai ke puncak bukitnya. Dan…wuaaahhh…pemandangan yang super! Di hadapan saya terbentang Samudera Hindia yang tak berbatas. Garis pantai pasir putih memanjang sejauh mata memandang. Dari atas sini, samudera itu tampak tenang dan membius. Hanya satu saja kekurangannya sore itu. Karena mendung atau masih tersaput kabut asap, pemandangan matahari tenggelam tak bisa dinikmati. Padahal dari atas bukit ini sunset bisa dilihat sejajar mata. Pastinya indah sekali.

Tapi tak apalah. Menikmati samudera yang indah dan tenang ini saja sudah memberi rasa damai yang sulit dilukiskan kata-kata. Lagi-lagi, ingin rasanya berlama-lama di sini, duduk berselonjor sambil melamun. Hanya diam dan menikmati ketenangan yang menghanyutkan. Baru saya ketahui belakangan kalau Bukit Langkisau ini biasa dijadikan lokasi olahraga paralayang. Bahkan festival paralayang diadakan setiap tahunnya. Kompetisi paralayang yang diadakan pun bukan hanya tingkat nasional, tapi juga internasional. Wow! Kapan-kapan ingin mencoba paralayang ini. 😀

Rencananya, kami akan menuju satu tujuan wisata lagi. Pantai Carocok namanya. Tapi sayang, waktu tak memungkinkan kami untuk melanjutkan perjalanan ke sana. Lagipula, di sana tak ada lagi hal menarik yang bisa dilihat karena tak ada pemandangan sunset, begitu kata teman rombongan yang sudah pernah ke sana. Ya sudahlah. Mungkin harus kembali lagi kapan-kapan.

Kami kembali ke Padang menjelang magrib. Perjalanan yang ditempuh lebih kurang 2,5 jam. Sampai di Padang, perut sudah keroncongan. Kami pun menuju tempat makan dengan sajian menu yang biasa kami santap selama di Padang. Seafood. Hmmm…nyam! J

 ***

>> Semua foto adalah dokumentasi pribadi (AFR).

Share

17 thoughts on “[Jelajah Sumbar] Dari Jembatan Akar Sampai Bukit Langkisau

    1. iya, saya juga terkesan sama ranah Minang sejak nonton film seri Sitti Nurbaya dan Sengsara Membawa Nikmat di TVRI dulu.. 😀

      Saya pikir, pantas dari sana banyak lahir pujangga/sastrawan. alamnya indah nian..

    1. loh, Pak Dian? Kirain siapaaa..hehe..soalnya blogsukasuka sih.. 😀

      masih banyak daerah di Sumbar yang belum terjelajahi, pak..rasanya setiap jengkal tanahnya patut dikunjungi ya..asyik soalnya.. 🙂

      hayuk, pak..kapan2 jalan ke Painan dan Jembatan Akar.. 🙂

  1. masih banyak tempat wisata lainnya di sumbar sbg surga wisata.sya sbg org yg lahir dan besar di minang blm semua tempat sya kunjungi hehehe….alam minangkabau mmg selalu dirindukan kembali untuk kesana..pantas kami di rantau tiap tahun itu selalu ingin pulkam ke padang …

    1. Wah..mbak Ina ternyata orang Minang ya..kampungnya yang di mana, mbak? 🙂
      Iyaa..entah kenapa selalu kangen ke sana. Kangen Bukittinggi, pengen jalan2 ke tempat2 yang belum dikunjungi..duh, pokonya ga bosen2lah..ini aja pengen ke Maninjau lagi..Danau Singkarak aja belum pernah..kalo di-list satu2 bisa panjang daftarnya ya.mbak..hehe..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: