Jabal Rahmah dan Kenangan di Terowongan Mina

Jabal Rahmah
Jabal Rahmah

HARI kedua di Makkah. Seperti di Madinah, di kota kelahiran Rasulullah SAW ini pun kami diajak berkeliling. Menziarahi tempat-tempat yang pernah dilalui Rasulullah SAW dan para sahabat. Tapi saya lupa urutan tempat yang dilalui, karena lebih banyak hanya ditunjukkan dari bus yang terus berjalan. Yang saya ingat adalah Jabal Tsur, Jabal Rahmah, padang Arafah, Muzdalifah, terowongan Mina, dan Jabal Nur.

Di Jabal Rahmah, kami turun. Di sekitarnya, ramai orang-orang yang berkeliling, asyik berfoto atau menaiki bukit berbatu itu. Karena waktu yang diberikan tour leader hanya lebih kurang setengah jam dan melihat ramainya orang-orang yang berkumpul di dekat tugu di puncak bukit, saya dan suami memilih memandangnya dari kejauhan saja. Beberapa teman serombongan memang naik, tapi entah kenapa saya lebih senang menikmati Jabal Rahmah dengan manusia yang menyemut dari kejauhan.

Jabal Rahmah atau bukit kasih sayang, diyakini sebagai tempat pertemuan Adam dan Hawa. Karenanya, banyak orang yang menitipkan doa agar segera bertemu jodohnya. Saya pun dititipi doa yang sama oleh beberapa saudara dan sahabat. Maka di pelatarannya, saya berdoa sambil menyebut nama-nama yang ingin segera dipertemukan dengan pendamping hidupnya. Semoga Allah segera menjawab doa-doa itu dengan kabar gembira ya…aamiin… 🙂

Bergerak dari Jabal Rahmah, kami melintasi padang Arafah. Tenda-tenda putih permanen tampak memenuhi beberapa titik. Inilah tempat utama saat musim haji. Wukuf di Arafah. Dari Arafah, kami ke Muzdalifah, lokasi pengambilan batu kerikil untuk melempar jumrah di Mina. Nah, Mina adalah salah satu tempat yang paling ingin saya lihat dalam rangkaian city tour itu, karena tempat itu memiliki cerita tersendiri bagi saya.

Pada tahun 1990, ketika kedua orangtua saya berhajilah, terjadi peristiwa duka di terowongan Mina, yang disebut dengan “Tragedi Terowongan Mina”. Kedua orangtua saya, ada di sana saat peristiwa itu terjadi. Saat itu, belum ada alat komunikasi canggih seperti handphone. Kabar terkini peristiwa itu hanya bisa keluarga saya pantau dari acara berita di TVRI dan surat kabar yang berusaha terus meng-update beritanya. Beberapa hari lamanya, saya dan sanak saudara tak tahu kabar tentang kedua orangtua saya. Waktu itu saya masih duduk di kelas 2 SD. Yang saya ingat, kakak-kakak dan saudara-saudara saya jadi lebih sering menonton televisi, untuk mencermati nama-nama korban Tragedi Mina. Ada seribu lebih jamaah yang menjadi korban dan lebih enam ratus orang di antaranya adalah jamaah dari Indonesia.

Kondisi terowongan Mina kala itu sangat mencekam. Korban-korban yang keseluruhannya adalah para jamaah yang sedang berihram, bergelimpangan bersimbah darah. Warna merah darah begitu kontras dengan putihnya kain ihram dan mukena para jamaah. Gelimpangan jenazah terlihat dari mulut terowongan menyebar sampai ke bawah jembatan. Subhanallah. Bila saya melihat gambar itu lagi, rasanya pilu sekali. Apalagi ketika jenazah-jenazah yang berjumlah ribuan itu terpaksa diangkut bertumpuk-tumpuk dengan truk karena kurangnya ambulans. Ya Allah…sungguh tak tega melihatnya.

Terowongan MIna. Tampak mulut terowongan yang setengah lingkaran di bawah bukit. Tak sempat memotret, terpaksa di-screen capture dari video
Terowongan Mina. Tampak dua mulut terowongan yang setengah lingkaran di bawah bukit. Terowongan sebelah kanan adalah terowongan lama, lokasi terjadinya tragedi Mina. Tak sempat memotret, terpaksa di-screen capture dari video

Apa yang sebenarnya terjadi?

Ayah saya lalu bercerita. Ternyata berawal dari tak adanya jalur 2 arah di terowongan itu untuk arus masuk dan keluar saat melempar jumrah. Pada hari itu, jamaah terkonsentrasi di satu waktu untuk melempar jumrah. Karena tak adanya pembatas arus masuk dan keluar, para jamaah berebutan dari dua arah untuk masuk dan keluar. Semakin lama, jumlah jamaah semakin bertambah sehingga berhimpitan, berdesak-desakan, hingga akhirnya banyak di antaranya yang jatuh lunglai dan tak sengaja terinjak-injak jamaah lain. Sementara ribuan jamaah lainnya yang bergerak dari dua arah terus mendesak maju. Tak ada ruang lagi, bahkan untuk diri sendiri. Arus masuk dan keluar menjadi kacau. Semuanya panik. Kepanikan yang terjadi di dalam terowongan dengan segera menular sampai ke luar.

Ayah dan Umak saya yang baru sampai di mulut terowongan pun tak bisa bergerak maju maupun mundur. Tak ada jalan lain selain tetap bertahan dan berdoa. Semuanya terjebak di detik-detik saat maut begitu dekat. Di saat genting itu, seorang jamaah yang ada di dekat Ayah saya meminta minum kehausan. Ayah yang baru seteguk membasahi kerongkongannya, sempat berpikir untuk memberikan air minum itu, sementara Ayah juga sedang kehausan dan air dalam botol itu tinggal sedikit. Akhirnya dengan Bismillah, Ayah berikan air minum itu untuknya. Ayah lalu berdoa agar Allah berkenan mengeluarkan mereka dari situasi sulit itu.

Tak berapa lama, dengan izin Allah, tiba-tiba terbuka sedikit jalan dari arah belakang. Ayah segera menarik tangan Umak menjauhi terowongan. Sambil berjalan, mereka masih percaya tak percaya manusia yang begitu padatnya memberikan ruang untuk mereka keluar. Dengan pertolongan Allah, akhirnya mereka selamat. Masya Allah… Allahu Akbar!

Cerita ini terekam begitu kuat dalam ingatan saya. Betapa Kemahabesaran Allah telah menyelamatkan Ayah dan Umak, dan tak menjadikan kami anak-anaknya menjadi yatim piatu di usia yang masih terlalu muda. Sungguh, itu adalah pikiran yang begitu saja melintas ketika mendengar cerita tersebut. Bagaimana kalau seandainya Allah berkehendak lain? Entahlah apa jadinya kami berenam, anak-anaknya ini.

Maka, ketika melintas di depan terowongan Mina, kenangan akan cerita Ayah itu kembali tersaji dalam visualisasi yang tampak nyata. Sejak peristiwa berdarah itu, pemerintah Saudi Arabia lalu membuka terowongan baru di sebelahnya, agar arus masuk dan keluar jamaah dari tempat melempar jumrah lebih teratur dan terarah.

Dari Mina, perjalanan dilanjutkan untuk melintasi Jabal Nur, bukit di mana Gua Hira, tempat Rasulullah SAW menerima wahyu pertama kalinya berada. Kalau melihat lokasinya, terbayang begitu beratnya medan yang ditempuh Rasulullah SAW untuk sampai ke sana. Dari kejauhan, tampak titik-titik orang yang menziarahi gua itu. Kami tak berkesempatan ke sana karena akan mengambil miqat di Masjid Ja’ranah untuk berumrah yang kedua, dan harus sudah sampai lagi di Masjidil Haram sebelum waktu zuhur. Bagi saya, ini umrah khusus karena saya niatkan untuk meng-umrah-kan almarhum abang saya tercinta. Sebentuk salam rindu yang semoga saja diterima Allah SWT. Aamiin yaa robbal ‘alamiin…

Di sinilah tempat kelahiran Rasulullah SAW, yang kini menjadi gedung perpustakaan (Maktabah Makkah Al Mukarramah)
Selesai berumrah, kami ke bagian belakang Masjidil Haram. Di sana ada satu bangunan Maulid Nabi, tempat kelahiran Rasulullah SAW, yang kini menjadi gedung perpustakaan (Maktabah Makkah Al Mukarramah), yang letaknya di belakang tempat sa’i, masih satu kompleks dengan Masjidil Haram.

***

Share

14 thoughts on “Jabal Rahmah dan Kenangan di Terowongan Mina

  1. Sukses membuat saya yg cengeng terisak. Antara kerinduan untuk dapat memenuhi panggilan Allah swt Dan terharu atas kisah ayah&umak Annisa rangkuti. Semoga Allah swt ttp memberikan ridho kepada mereka berdua,Dan Anak yg menceritakan kisah ini diridhoi Dan dikabulkan Allah swt doa-doanya. Amin ya robbal alamin. *terimakasih Nissa…

    1. Berkat pertolongan Allah, mbak Evi..saya rasa itu juga berkah dari sedekah minuman yg diberikan ayah saya. Wallahu a’lam.. Tapi iya, kalo inget lagi peristiwa itu bisa bikin merinding..banyak korban selamat yang merasa diberi mu’jizat saat peristiwa itu terjadi..

    1. Ga turun, mbak Hanna..tapi kayanya emang ga bisa turun buat liat2 juga, karena bukan dijadikan objek wisata waktu musim umrah. Semua wilayah Arafah, Muzdalifah, dan Mina itu sepi, tampak tertutup karena bukanya cuma pas musim haji..

      Hehe..videonya sepotong2 soalnya, mbak..jd malu kalo mau ngaplod 😀 enaknya ke sana bawa DSLR, bisa jepret cepat dan ngezoom..tp ya berat aja kalo mesti bawa itu ke sana.. 😀

  2. loh saya malah nangis baca postingan ini. keinginan terbesar umat manusia selain masuk syurga adalah mengunjungi rumah Allah. dan itu impian saya, impian untuk membawa serta kedua orang tua kesana. doakan ya mba, saya bisa sempat membawa mereka ke mekkah.amin.
    btw, mba dapet liebster award d aku cek ya miafajarani.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: