Dari Negeri Gordang Sambilan Hingga ke Negeri Seribu Kubah

Dari Negeri Gordang Sambilan Hingga ke Negeri Seribu Kubah

 

TAK pernah terbayangkan jika saya akan menjadi warga di kota kelahiran saya, Padangsidimpuan. Sebelum kota ini, ada beberapa kota lain yang pernah saya dan suami tinggali. Mulai dari kota-kota di Tabagsel sampai ke kota di provinsi tetangga, Riau.

 

Meski kampung ayah saya ada di kabupaten Mandailing Natal, tapi saya tak pernah membayangkan petualangan saya dan suami, berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya itu dimulai dari ibukota kabupaten ini. Akhir tahun 2009, suami saya memasuki masa stase luar kota dalam memenuhi syarat akademik Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)nya. Ia mendapat penempatan selama 6 bulan di kota Panyabungan.

 

Saya yang waktu itu masih bekerja sebagai dosen diminta ikut. Saya sih langsung mengiyakan saja. Selain suka berpetualang ke tempat baru, saya pun bukan tipe wanita pengejar karir. Jadi dalam pikiran saya, karir bisa menyusul kapan-kapan. Pengalaman menjelajahi tempat baru lebih menyenangkan dan bisa jadi tak mungkin terulang.

 

Jalan menuju Panyabungan, Mandailing Natal (dok. AFR)

 

Maka jadilah, akhir Desember 2009 itu, saya menyusul suami yang sudah lebih dulu ke Panyabungan. Kami menempati kota yang dikenal sebagai ibukota negeri gordang sambilan dengan sungai Batang Gadis-nya ini sampai bulan Juni tahun depannya, sampai selesai masa stase luar kotanya.

 

Di kota inilah pertama kalinya saya memulai perjalanan sebagai blogger di Kompasiana (Kompasianer). Ngeblog demi mengisi waktu luang yang berlimpah, karena di waktu itu belum ada Arsya. Ngeblog yang saking candunya sampai bikin saya lupa waktu. Seperti baru saja menemukan dunia baru yang selama ini dicari.

 

Enam bulan di sana, saya berkawan dengan banyak orang di dunia maya. Ingin rasanya berlama-lama di kota ini demi memuaskan hasrat ngeblog. Karena kembali ke Medan berarti kembali ke rutinitas, membagi waktu antara diri sendiri dengan keluarga besar, sementara suami kembali meneruskan pendidikannya ke stase selanjutnya.

 

Pemandangan menuju Sibuhuan, Padang Lawas (dok. AFR)

 

Tak disangka, kami kembali lagi ke kota ini pada Januari 2013, setelah setahun mendiami Sibuhuan. Ya, setelah masa pendidikan dokter spesialis suami selesai pada Desember 2011, kami langsung menjajaki ibukota Padang Lawas, Sibuhuan, untuk mulai meniti karir di daerah. Setahun bekerja sebagai dokter spesialis kandungan di sebuah rumah sakit swasta di Sibuhuan, suami memilih resign dan melanjutkan karirnya di Panyabungan.

 

Maka ke Panyabungan lagi seperti CLBK, Cinta Lama Bersemi Kembali. Saya suka dengan kota ini, meski cuacanya seringkali gerah. Sama gerahnya dengan di Sibuhuan. Tapi begitulah, suasana di rumah dinas waktu itu, tempat kami dan beberapa dokter PPDS lainnya berkumpul di satu atap, membuat suasana selalu ramai dan ceria. Ada saja cerita baru tiap kali para dokter PPDS itu berganti per 6 bulan atau per 3 bulan, tergantung spesialisasinya.

 

Setahun setelah kembali menjadi warga Panyabungan, kami sempat bolak balik beberapa hari dalam seminggu ke Gunung Tua, ibukota Padang Lawas Utara selama tahun 2014. Perjalanan Panyabungan-Gunung Tua yang kira-kira 3,5 jam kami lakoni dengan semangat petualangan. Haha. Setelah 9 bulan menjalani rute yang sama, suami akhirnya kembali memilih mengundurkan diri dari RSUD Gunung Tua karena sesuatu hal yang dirasanya tak sesuai lagi dengan idealismenya. Suami kembali fokus saja bekerja di Panyabungan.

 

Pemandangan menuju Gunung Tua, Padang Lawas Utara (dok. AFR)

 

Tak disangka, pada tahun 2015, kami kembali melakoni perjalanan bolak-balik dari Panyabungan ke kota lain. Kali ini malah lebih jauh, ke Ujung Tanjung dan Bagan Siapi api, kabupaten Rokan Hilir, Riau. Jarak tempuhnya 9 jam perjalanan darat, dilakoni sekali seminggu PP dari Panyabungan dengan perbandingan 3 hari di Ujung Tanjung/Bagan Siapi api, 4 hari di Panyabungan.

 

Inilah domisili sementara yang kami kira paling ekstrem yang pernah dijalani. Haha. Kalau diingat-ingat, luar biasa juga perjuangan dulu itu. Belum tentu saat sekarang kami sanggup menjalani hal yang sama. Petualangan ke negeri seribu kubah itu pun hanya bertahan selama beberapa bulan saja. Suami kembali fokus bekerja di Panyabungan.

 

Di kota Panyabungan ini, kami sempat berpikir akan tinggal lebih lama. Kami sudah kadung cinta pada kota sederhana ini. Sampai-sampai kami sempat membeli satu unit rumah yang kami cicil selama 3 tahun. Tapi ternyata yang terjadi kemudian di luar rencana.

 

Di sebuah sudut kota Bagan Siapi Api (dok. AFR)

 

Karena perubahan situasi, pertengahan tahun 2015 suami memilih bekerja di dua tempat sekaligus, seperti yang sebelumnya pernah ia lakukan. Sebab kebutuhan akan dokter spesialis kandungan yang masih minim di daerah Tabagsel dan adanya kesempatan untuk itu, ia memilih bekerja di tempat kedua, kotamadya Padangsidimpuan, berjarak 1,5 jam dari Panyabungan. Sempat setahun lebih ia memilih bolak balik Panyabungan-Padangsidimpuan setiap harinya. Lelah sudah pasti.

 

Saya waktu itu masih tinggal di Medan, karena Arsya masih berumur beberapa bulan. Jadi suami untuk sementara memilih tinggal di rumah saudara dulu. Beberapa bulan di rumah saudara, akhirnya ia menempati sebuah rumah kontrakan agar saya dan Arsya juga bisa ikut ke Padangsidimpuan nantinya.

 

Jadilah, pada November 2016 saya dan Arsya menyusul suami jadi warga kota Padangsidimpuan, kota kelahiran saya tercinta. Saya sih senang-senang saja, karena bisa nostalgia setiap saat mengingat masa kecil saya di rumah nenek dan saudara. Meski Padangsidimpuan dulu dan sekarang sudah banyak berbeda. Kota kelahiran dengan aura ndeso-nya yang seperti dulu tak lagi dirasakan. Bahkan konser artis papan atas ibukota sudah sering tampil di sini. Haha. Sudah tak terasa lagi aura “kampung halaman” nya.

 

Padangsidimpuan dari Puncak Simarsayang (dok. AFR)

 

Tapi dengan modernisasi yang terus berkembang di kota ini, sebenarnya memudahkan kami juga. Jadi hampir tak terasa bedanya tinggal di kota kecil dengan di kota besar seperti Medan. Bedanya cuma belum ada mall (sungguhan) saja. 😄

 

Seiring jalannya waktu, suami akhirnya memilih tinggal di satu tempat kerja saja. Cukup fokus di Padangsidimpuan. Jadi per 1 Januari 2018 ia sudah resmi tak lagi bekerja di RSUD Panyabungan. Ia memilih membuka praktik sendiri dan bekerja di 2 RS swasta yang ada di sini, setelah sebelumnya resign juga dari RSUD Padangsidimpuan. Ia merasa lebih nyaman bekerja mandiri dengan keputusan sendiri tanpa harus terikat dengan aturan layaknya pegawai pemerintahan.

 

Alhamdulillah, keputusan ini dirasakan sebagai yang terbaik. Ia tak lelah lagi bolak-balik ke berbagai tempat, dan bisa lebih bebas mengelola usahanya sendiri secara mandiri. Ia bisa bekerja kapan saja dan juga bisa menentukan hari liburnya kapan saja jika sedang luang dan tak ada janji dengan pasien.

 

Begitulah. Jika diingat-ingat semua prosesnya sejak kami menikah pada Desember 2008 lalu, tak terbayangkan betapa kami telah melewati berbagai suka dan duka, berbagai jalan dan rintangan yang berliku. Hanya Allah lah yang memudahkan segalanya.

 

***

 

Ditulis untuk tema ke-14 (pengganti) Blogger Perempuan 30 Days Challenge 2018.

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: